Selamat Datang Sahabat

Minggu, 25 Januari 2015

~* TENTANG FILM PUISI YANG TAK TERKUBURKAN *~

~* HASIL KARYA PUTRA KOTA DINGIN TAKENGON *~

 




FILM ACEH : Puisi Tak Terkuburkan

Sutradara : Garin Nugroho
Tema : Kisah Hidup Seniman Gayo
Artis : Ibrahim Kadir
Lokasi Shooting : Depok, Jawa Barat

Sinopsis :

Kisah nyata seorang penyiar didong, Ibrahim Kadir (Ibrahim Kadir), ketika dipenjara tahun 1965 di tanah Gayo, Aceh selama 22 hari. Dan akhirnya dilepaskan karena ternyata salah tangkap. Selama di penjara, tugas Ibrahim yaitu mengarungi kepala rekan-rekan sepenjara yang entah dibawa kemana, dan tak pernah kembali lagi. Ditembak mati, tanpa kejelasan pengadilannya. Mereka yang dipenjara juga tidak tahu kapan atau apakah mereka juga akan mendapat giliran mereka untuk dieksekusi. Suasana menunggu menjadi tak jelas juntrungannya. Dalam suasana demikian ini, Ibrahim Kadir masih sempat menciptakan puisinya. Reaksi berlainan mucul pula dari mereka yang terpenjara itu, maupun dari wanita-wanita yang bekerja di dapur penjara.


Ibrahim Kadir


Film “Puisi Tak Terkuburkan” di produksi 1999, merupakan salah satu karya terbaik Garin Nugroho yang berhasil memenangkan beberapa hadiah internasional. Antara lain “aktor terbaik” dalam festival film di Singapura. Ini adalah satu-satunya film Garin yang menggondol hadiah prestisius tersebut. Film ini diputar perdana di Belanda yang dihadiri Ibrahim Kadir. 




TENTANG IBRAHIM KADIR

Pernah dipenjara karena kesalahpahaman, seniman ini ingin menghabiskan hidupnya untuk kesenian Gayo.
KENANGAN-kenangan itu tersusun rapi dalam sebuah bingkai ukuran jumbo. Isinya sebagian besar kliping koran yang mengulas tentang dirinya dalam film Puisi Tak Terkuburkan. Ada pula gambar Garin Nugroho, sutradara film itu, serta aneka piagam penghargaan festival film dari luar negeri. Bingkai itu terpajang di dinding ruang tamu. Dua bingkai poster film Tjoet Nja’ Dhien menghiasi dinding lain.

Ibrahim Kadir ikut bermain dalam dua film itu. Dalam film Puisi Tak Terkuburkan, dia berperan sebagai tokoh utama. Film ini berkisah tentang pengalaman hidupnya sewaktu hidup dalam penjara pada 1965. Sedang dalam film TjoetNja’ Dhien garapan Eros Djarot, dia berperan sebagai Penyair, bermain bersama aktris Christine Hakim. Ibrahim masih tetap memelihara komunikasi dengan Garin dan Eros. Ketika dia ke Jakarta, Januari 2008 lalu, dia menyempatkan diri datang rumah Eros. Eros pula yang membangun rumahnya di kampung Kemili, Takengon, Aceh Tengah. 

Sudah seperti keluarga. Kalau Garin nggak ketemu. Dia sedang di Jerman. Dia bilang akan membuat film lagi tentang Aceh dan mengajak saya lagi. Entah, kapan itu,” katanya.

Bermain film adalah pengalaman lain Ibrahim selain mengajar tari, teater dan mengarang puisi. Saat senggang dia memutar ulang film Puisi Tak Terkuburkan bersama cucu-cucunya. Film ini juga kerap ditonton tetangga atau pejabat di Takengon. Ibarat sebuah album foto, dia berharap orang-orang mengingat kembali penggalan-penggalan masa lalunya. 

Saya hanya punya satu kasetnya. Takut kalau sering diputar jadi rusak. Saya mau minta tolong Garin kirim seribu buah dalam bentuk kepingan CD,” katanya. 

Usianya sudah 66 tahun. Satu persatu giginya mulai tanggal. Badan yang dulu tegap tak tampak lagi. Kulit tubuhnya pun sudah menggelambir di sana-sini. Hanya satu yang tak berubah, suaranya tetap meledak-ledak. Kadang, saya mendengar gaya bertutur dia seperti sedang berpuisi. Suatu sore di awal Februari 2008 itu, rumah sedang sepi. Ibrahim pamit sebentar. Suara azan zuhur memanggilnya datang sembahyang ke masjid di samping rumah. 

AWAL Oktober 1965. Di kota Takengon, Aceh Tengah, lelaki dan perempuan menyesaki sel penjara yang dingin dan pengap. Tiap sel dipisah dinding dari papan. Wajah-wajah tahanan terlihat tegang dan penuh cemas. Malam itu, tahanan baru bernomor urut 25 baru saja masuk. Tubuhnya gemuk dan mengenakan sandal jepit. Lelaki itu…bernama Ibrahim Kadir. Ibrahim menghuni sel nomor tujuh. Orang-orang di sel itu menatap dingin kedatangannya. Sambil membalut tubuhnya dengan kain sarung, Ibrahim menghempaskan diri di pojok sel. 

Udara malam yang dingin di luar sana telah menyusup ke celah-celah dinding penjara. Ibrahim mencoba membaringkan tubuhnya di atas tikar pandan. Matanya sungguh sulit terpejam. Dia masih tidak mengerti mengapa dirinya harus ada dalam ruang penjara yang pengap itu. Lalu dia duduk lagi, termenung. Siang tadi belasan tentara mengambil dirinya ketika mengajar kesenian di sekolah dasar. Kejadiannya cepat sekali. Apalagi, dia belum sempat pamit kepada istrinya, yang kebetulan sedang mengajar di kelas lain di sekolah itu. Sepanjang perjalanan dia tidak berani bertanya. Rasa ingin tahunya tiba-tiba membuncah. Kebetulan dikamar itu, dia bertemu seseorang. Dia mengenalnya. Lelaki itu, atasannya di dinas pendidikan Aceh Tengah. 

“Saya ini dibawa kemari. Ndak ditanya. Apa ini?” 
“Saya pun tak tahu. Saya juga langsung dibawa kemari. Nantilah kita tahu, kalau ditanya,” jawab lelaki itu. 

Sel nomor tujuh itu makin lama makin sesak oleh penghuni baru. Ada yang tidur dibawah kaki dengan alas tikar pandan, ada yang berimpitan di atas dipan. Lamat-lamat telinga Ibrahim menangkap suara bisik-bisik antar mereka. 

“PKI di Jakarta memberontak. Jenderal-jenderal dibunuh.”

Dari cerita orang-orang di penjara, Ibrahim mendengar setelah pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) gagal, militer melakukan ‘pembersihan’ terhadap anggota-anggota partai itu, salah satunya di Aceh Tengah. Ibrahim mengira semua yang berada di penjara itu adalah anggota PKI. Dia ingat ketika partai itu memberikan bantuan alat bertani berupa cangkul di kampungnya. Tapi dia bukan anggota PKI. Dia tidak menerima bantuan itu. Dia mendengar kabar para penerima bantuan itu ikut pula ditangkap.

Memasuki hari ke-10, penghuni penjara mulai berkurang. Ibrahim paham bagaimana hidup mereka berakhir. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri saat menuruti perintah tentara-tentara itu mengikat dan membungkus tubuh para tahanan dengan karung goni. Tapi, dia tidak berdaya di tengah todongan senapan tentara-tentara itu. Malam itu, seorang tentara sigap memberi perintah. Para tahanan yang diangkut dengan truk kemudian dibagi. 


Empat pertama di tikungan pertama. Empat berikutnya di tikungan berikutnya…”


Di sebuah bukit sudah bersiap puluhan lelaki yang menjadi algojo. Tangan mereka menggenggam tombak dan parang. Dia menyaksikan tubuh-tubuh itu dibantai dari jarak 15 meter. Tentara-tentara itu, anehnya hanya berdiri menonton. Ibrahim terhenyak. Dia tidak tahan melihat tubuh-tubuh itu menggelepar di tanah. Dia merasa gilirannya sudah tiba.


Sudah... Kamu masuk ke truk. Giliran kamu besok...!” seru tentara itu kepadanya. 



Seketika tubuh Ibrahim menjadi lemas. Sepanjang perjalanan kembali ke penjara, dia membisu. Dia merasakan maut kian dekat. Malam ke-14, truk-truk tentara datang lagi ke penjara. Para tahanan yang dianggap anggota PKI kembali akan dieksekusi. Seorang petugas penjara memanggil tahanan sesuai nomor urut. Si pemilik nomor bergegas keluar sel penjara.


“Nomor satu, dua, tiga…dua puluh empat… dua puluh enam…” 

Ternyata setelah memanggil nomor 24, petugas itu langsung lompat menyebut nomor 26. Ibrahim tidak mendapatkan giliran yang dijanjikan itu. Hidupnya seperti tengah dipermainkan. Dia protes kepada petugas itu.


“Nomor dua puluh lima tidak ada!” Petugas itu menjawab dengan nada tinggi.


Malam ke-16… malam ke-18… malam ke-20…hingga malam ke-22, nama Ibrahim tak dipanggil juga. Temannya dalam sel nomor tujuh yang awalnya sangat sesak kini berkurang. Lama-lama Ibrahim tidak tahan lagi. Pikirnya, pembunuhan toh akan datang juga. Dia sudah memutuskan tidak mau lagi ikut pergi ke tempat eksekusi. Dia tidak sanggup lagi menunggu datangnya kematian itu. Tekadnya sudah bulat, ingin ditembak di penjara saat itu juga. 


Sepanjang malam ke-22 itu Ibrahim tidak bisa tidur. Tubuhnya gemetar. Dia kemudian membuka sobekan-sobekan kertas rokok berisi sajak-sajak yang ditulisnya dalam bahasa Gayo. Sajak itu diperuntukkan kepada ibunya sebagai ungkapan perasaan jika kematian menjemputnya. Terbayang pula wajah istrinya, Rasuna dan Adrian, anak lelakinya yang masih bayi.


Ibrahim melangkah membuka daun jendela selnya. Seketika  udara dingin menyeruak masuk. Kedua tangannya  menggenggam erat jeruji-jerujinya. Dia menanggalkan baju  seperti menantang tentara-tentara itu menembak langsung  ke dadanya.  Tiba-tiba dia menjerit keras. Suaranya bergaung ke sudut-sudut penjara.

“Mamak…
Batang mempelam tergayut angin 
Batang tubuhku sekarang terguncang
Berat telah berkurang ibarat daun layu
Bunga di tanganku terampas hantu
Tak melintas lagi kepak burung di atas atap yang tiris
Tak singgah lagi lalat di lantai yang rata
Tiada lagi bisik burung di ujung tangga
Sebatangkara menimbang bimbang

Mamak…
Bukit hijau itu kadang terbayang
Remuk pundakku mengemban beban
Di punggung kayu basah tersiram hujan
Tempatku bercermin terbayang senyampan
Ranggaskah sudah rumput halaman
Layukah sudah pucuk yang terinjak
Luruhkan sudah putik bunga telaga
Nestapa jasad terombang-ambing gelombang...”


Ibrahim berharap ratapannya itu akan mengundang kemarahan seisi penjara, terutama sipir. Semoga itu berujung pada perintah penembakan dirinya, saat itu juga. Jika sudah mati, keluarganya bisa melihat dan membawa jasadnya pulang. Dia tidak mau hidupnya berakhir seperti tahanan-tahanan itu, yang jasadnya terguling lalu lenyap di balik bukit.
Ibrahim lalu membusung dadanya sambil bersuara keras. 

“Oiii…tentaraa…tembaaak nih dadaku!”

Tapi… kemarahan yang diharap itu tidak datang. Selama Ibrahim meneriakkan ratapannya, tidak ada yang marah atau protes karena terganggu. Malah setelah dia selesai, penghuni sel terbawa oleh perasaan haru, lalu mereka menangis. Paginya, ternyata ratapan Ibrahim itu diperdengarkan dalam sebuah gedung kesenian dekat lingkungan penjara. Acara itu dihadiri orang-orang Takengon, aktivis partai, dan petinggi militer dari Banda Aceh. Mereka larut mendengar suara Ibrahim. Seorang aktivis Partai Nasional Indonesia bertanya kepada panitia kegiatan itu.

“Suara siapa ini?”
“Ibrahim Kadir.”
“Di mana dia?”
“Di dalam.”

Dia lalu menujuk bangunan penjara. Aktivis partai itu terperanjat. 

“Mengapa... Apa salahnya?”

Aktivis itu makin kaget mendengar Ibrahim ditahan karena dianggap anggota PKI. Dia protes kepada sipir penjara. Suaranya yang keras membuat suasana gedung jadi ricuh.

“Dia kan anggota kami! Dia PNI (Partai Nasional Indonesia)! Jangan sembarangan (menahan)!”

Hari itu juga, Ibrahim dikeluarkan dari penjara. Dia dibawa ke kantor distrik militer Aceh Tengah. Di sana sudah menunggu para tentara, jaksa, dan bupati Aceh Tengah. Dia diberitahu tidak terlibat sebagai anggota PKI. Jaksa berdalih nama ‘Ibrahim’ yang dilaporkan anggota PKI adalah ‘Ibrahim’ yang lain.

Namun, Ibrahim tidak terima alasan jaksa. Dengan wajah penuh rasa amarah, dia hendak memukul seorang tentara sembari berteriak.

“Pantengong…!!!”

Ibrahim meneriaki mereka “bodoh”. Seorang tentara lain datang melerai dan memegang tubuhnya di kursi. Ibrahim masih berteriak.

Sudah 22 hari aku ditahan tanpa tahu apa kesalahanku. Sekarang aku dinyatakan bebas. Apa-apaan ini! Mengapa mesti salah menangkap! Sekarang aku sudah lihat perbuatan kalian, membantai orang-orang itu. Tidak! Aku tidak mau bebas! Aku mau tetap dalam penjara itu!”

Jaksa itu mencoba membujuk Ibrahim.

“Kalau Bapak tidak ditangkap saat itu, mungkin Bapak akan dibunuh massa yang menyangka Bapak (anggota) PKI.”

Dia akhirnya luluh. Sebulan kemudian, dia kembali mengajar kesenian di sekolah. 

“Kita dilahirkan ke dunia mendapat tugas dengan berbagai kesalahan. Kesalahan setiap manusia tidak dapat dilenyapkan dengan kematian. Sebelum kamu kenali sesuatu, jangan kamu sentuh. Manusia masih bisa berubah,” ujar Ibrahim kepada saya, sambil menghisap rokok di teras rumahnya yang dingin.

--------------
PADA 1988, Eros Djarot datang ke  Aceh untuk membuat film kepahlawanan  pejuang wanita asal Aceh, Tjoet Nja’  Dhien. Nama pejuang ini kemudian digunakan sebagai judul film itu. Eros bersama kru film dari Jakarta menginap di sebuah hotel di kota Sigli, Pidie. Di situ antara lain, ada aktris Christine Hakim yang akan menjadi  pemeran tokoh Tjoet Nja’ Dhien, Slamet Rahardjo Djarot, Pietra Jaya Burnama, dan Rita Zaharah. Selama berada di Aceh, Eros juga  mencari orang-orang lokal yang akan  memerankan beberapa tokoh dalam  filmnya, salah satunya peran seorang  penyair.


Suatu hari, mata Eros terantuk pada  seorang lelaki yang tengah membaca  puisi. Gerak tubuhnya begitu ekspresif,  kelihatan menghayati selama membaca  puisi.  Lelaki itu Ibrahim Kadir.


“Mau ikut main film,” kata Eros 
mengajak lelaki itu.


“Sebagai apa?”
“Penyair. Besok datang ke hotel untuk casting.”

Ibrahim tidak percaya akan diajak bermain film. Selama  ini dia hanya bisa membuat puisi, bersyair, mengajar tari,  dan sesekali bermain teater. Tapi, apakah bisa main film? Ah, dia ragu.


Setelah pulang ke rumah, Ibrahim hampir melupakan  ajakan Eros tadi. Rupanya dia mendapat telepon diminta  datang ke hotel untuk casting atau uji peran. Saat itu juga,  Ibrahim berangkat tanpa banyak bekal. Istrinya hanya  memberi uang sekadar ongkos angkutan. Di perjalanan Ibrahim tidak yakin apakah diterima, sebab  kata Eros ada beberapa orang yang akan diuji untuk peran Penyair. Sampai hotel, dia melihat orang-orang sudah keluar ruangan. Tampaknya, proses casting hampir selesai. Tapi, Eros sedang menunggunya. Dia meminta Ibrahim  memperagakan karakter Penyair seperti tertulis dalam skenario film Tjoet Nja’ Dhien. Tak lama, peragaan itu selesai.


Saat itu Ibrahim tidak diberitahu apakah diterima sebagai pemeran Penyair. Sampai sehari kemudian, dia diundang kru film menghadiri jamuan pesta di rumah dinas gubernur di Banda Aceh. Di sana, Eros akan mengumumkan nama-nama pemeran film Tjoet Nja’ Dhien. Ibrahim tidak terlalu hirau dengan acara itu. Dia memilih duduk lesehan sambil asyik merokok di halaman pendopo. Tiba-tiba seseorang keluar memanggil-manggil namanya. 



“Mana yang namanya Ibrahim.”


“Ya, saya yang namanya Ibrahim.”
“Bapak disuruh masuk.”

Ibrahim bergegas bergabung ke dalam pendopo. Semua orang yang hadir menoleh kepadanya sembari menyungging senyum. Ibrahim malah bingung.


“Ada apa saya disuruh masuk,” katanya dengan polos.
“Bapak terpilih sebagai pemeran Penyair!”

Tokoh penyair sering muncul di bagian akhir film itu. Dengan nyanyian daerah dan syair-syair perjuangan Aceh, si penyair memompa semangat juang pasukan Tjoet Nja’ Dhien sepulang mereka dari medan perang. 



IBRAHIM berkenalan dengan sutradara Garin Nugroho pada 1999 atau sebelas tahun setelah film Tjut Nja’ Dhien beredar di bioskop. Garin juga tertarik membuat film dengan tema Aceh, meski tidak tahu temanya soal apa. Awal perkenalan itu, ketika anak buah Garin mengajak Ibrahim melihat syuting film dokumenter Anak Seribu Pulau di danau Laut Tawar, Takengon.

Di sela-sela istirahat syuting, Ibrahim diminta mendendangkan lagu-lagu Gayo, termasuk syair Ratap yang dibuat ketika dia ditahan dalam penjara. Liriknya sungguh menyayat hati. Diam-diam seorang kru merekam Ibrahim dengan kamera video. 

“Mereka menangis setelah mendengar syair itu,” kisah Ibrahim.


Rupanya Garin tertarik mencari tahu kehidupan Ibrahim setelah menonton kaset rekaman itu. Dia melakukan  riset mengenai seni didong dan membaca puisi-puisi Ibrahim. Garin makin tergerak membuat film begitu tahu kisah hidup Ibrahim di dalam penjara. Ibrahim diundang datang ke Jakarta. Selama tiga bulan di sana, Garin mencatat detail kisah hidupnya dan dijadikan skenario film. Garin terenyuh mendengar kisah itu. Ya, dia memutuskan mengangkat kisah itu dalam film berjudul "Puisi Tak Terkuburkan".


Sudah Pakcik, kita langsung bikin film saja,” ujar Garin.

Syuting film seluruhnya berlangsung di kawasan Depok, Jawa Barat, selama enam hari, dan pemain sebagian besar orang-orang Gayo yang tinggal di Jakarta. Alasan mengambil lokasi di luar Aceh, karena situasi di sana sedang dirudung konflik bersenjata. Sebuah studio disulap menjadi penjara, begitu pula pemilihan para pemain dipilih sesuai detail kisah Ibrahim. 




“Pemilihan Berliana oleh Garin karena saya pernah lihat perempuan dibunuh yang wajahnya sangat cantik, mirip dia,” kata Ibrahim.


Pemain yang dimaksud itu adalah Berliana Febrianti, seorang aktris yang kerap muncul dalam sinetron-sinetron televisi. Syuting film Puisi Tak Terkuburkan ternyata menguras emosi Ibrahim, ketimbang saat bermain dalam film Tjoet Nja’ Dhien. Selama enam hari, Garin seperti mengungkit lagi penderitaan Ibrahim, yang sesungguhnya pelan-pelan  sudah dia lalui. Itu sebabnya, syuting terpaksa dihentikan  karena Ibrahim melolongkan tangisan secara tiba-tiba, atau  sebaliknya para pemain yang tiba-tiba menangis mendengar kisah Ibrahim.


“Saking emosionalnya, saya selalu protes kepada Garin kalau ada adegan yang tidak sesuai dengan pengalaman saya di penjara,” kenang Ibrahim.


Setahun kemudian, film Puisi Tak Terkuburkan mengikuti berbagai festival film internasional dengan memakai judul "A Poet". Ibrahim terpilih sebagai aktor terbaik dalam Singapore International Film Festival. Penghargaan juga diraih dalam festival film yang diadakan Amnesty International, sebuah lembaga hak asasi manusia di Belanda, pada 2001.


Pada tahun-tahun itu situasi Aceh masih mencekam. Keamanan penduduk terancam oleh konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka atau GAM dengan tentara Indonesia. Kadang, banyak penduduk yang tidak bersalah menjadi korban. Ibrahim berharap film Puisi Tak Terkuburkan memberi pesan perdamaian.

Apa misi film ini?” tanya seorang aktivis Amnesty International kepada Ibrahim.


Ibrahim lantas berkisah tentang sebuah kehidupan indah sebelum konflik bergejolak di kampungnya.


Rumahku di kaki bukit. Tiap hari gadis-gadis mencari kayu ke sana. Setelah mereka menimbun belahan-belahan kayu, mereka beristirahat sebentar di kaki bukit sambil mendengar suara angin dan kicau burung. Kadang-kadang mereka bercerita sambil bergutu dan mendendang lagu tentang kekasihnya, ibunya, atau tentang bagaimana hari depannya. Ketika senja mereka pulang ke rumah dengan wajah riang. Sekarang mereka tak bisa lagi ke bukit itu karena sudah ada senjata (konflik). Padahal bukit itu tidak dibeli dari Cina atau Belanda. Bukit yang melahirkan mereka. Ke tempat lahirnya juga, mereka tidak bisa pergi.”


“Jadi saya ingin misi film ini, biarkan gadis-gadis itu bisa kembali ke bukit agar bisa senyum bersama bunga-bunga.”


IBRAHIM lahir pada 1944 di sebuah rumah panggung dekat danau Laut Tawar, Takengon. Dia tidak tahu kapan tanggal dan bulannya. Nama Kadir adalah nama ayahnya. Sejak kecil dia sudah punya bakat berkesenian, mengikuti jejak Kadir, sebagai seorang pemain tari seudati dan didong. Didong merupakan seni bertutur dengan nyanyian dan dimainkan oleh banyak orang. Di antara mereka ada satu orang menjadi pengatur irama yang disebut sebagai ceh. 


Dalam tradisi rakyat Gayo, didong menjadi media menceritakan  kebiasaan nenek moyang, membawa pesan humanisme dan kearifan lokal. Ada puluhan kelompok didong di Tanah Gayo. Setiap ada hajatan kelompok-kelompok itu dipertandingan semalam suntuk. Siapa yang punya syair paling bagus, dialah yang menang.



Zaman saya kecil, tak sembarang jadi pemain didong. Kalau belum menikah belum boleh jadi anggota kelompok,”ujar Ibrahim.


Ibrahim kecil, oleh teman-teman mainnya, hanya disuruh mencuri ubi atau ayam milik orang lain. Menurut adat  masyarakat Gayo pada masa itu, pemilik ubi atau ayam tidak keberatan miliknya dicuri karena anak-anak selalu ikut memelihara sawah dan ladangnya, tanpa harus membayar upah.


“Melalatoa selalu suruh saya mencuri ubi. Kalau tidak, dia akan memukul saya,” kenang Ibrahim sambil terkekeh.


Lelaki yang disebut itu adalah Muhammad Junus Melalatoa, teman akrab Ibrahim. Kelak, Melalatoa dikenal sebagai profesor antropologi Universitas Indonesia. Dia meneliti karya-karya didong para seniman Gayo, termasuk Ibrahim. Penelitian itu telah dibukukan oleh Yayasan Obor Indonesia berjudul Didong Pentas Kreativitas Gayo.


“Karangan-karangan didong pada generasi Ibrahim terasa sentimentil dan romantis,” kata Melalatoa dalam bukunya itu.


Sisi romantis itu diperlihatkan Ibrahim ketika jatuh cinta kepada Rasuna, istrinya, di bangku sekolah dasar. Di bawah bangku, Ibrahim sengaja menyenggolkan kakinya ke betis Rasuna, lalu Rasuna membalas dengan senyum.



“Dia paling cantik di ruangan kelas, makanya saya suka dia,” kenang Ibrahim, tersenyum.


Ibrahim kecil juga belajar menuangkan perasaan-perasaan sentimentil tadi ke dalam lagu. Apalagi, dia punya banyak waktu mengarang setelah tidak diperbolehkan gabung dalam kelompok didong. Karya pertamanya, berjudul "Tajuk Dilem" dibuat dalam bahasa Gayo, termasuk lirik dan melodinya, ketika dia berusia 10 tahun. Sebagian lirik lagu itu, dalam bahasa Indonesia artinya kira-kira begini;

Padamu Takengon, aku selalu rindu.
Juga ayah dan ibuku, oh ibu.
Terakhir kupandang Takengon dari bukit Singgah Mata.
Jika aku pergi, oh Ibu dan ayah akan sedih termangu.
Bila matahari meninggi, ayah duduk di meunasah (masjid).
Berfikir kemana hari ini pergi (mencari nafkah). Besokpun
kemana.

Oh.. Takengon, aku rindu.
Kapan kita ketemu lagi
Padamu Takengon, rinduku selalu.

Saat saya temui, Ibrahim menyanyikan syair itu dalam  melodi bahasa Gayo. Liriknya terdengar menyayat dan mendayu. Mustawalad, seorang teman saya asal Gayo, yang ikut mendengar syair itu terlihat berkaca-kaca.


Rasanya saya mau nangis. Sejak dulu saya sering dengar syair itu, baru tahu kalau yang bikin dia,” ujar Mustawalad kepada saya, usai mendengar syair itu. Dia merinding. 

Tajuk Dilem berkisah tentang keindahan alam Takengon dengan danau Laut Tawar dan pegunungan yang sejuk. Karya ini, 30 tahun kemudian, cukup populer di telinga masyarakat Gayo. Menurut Ibrahim, syair itu berpesan kepada orang-orang Takengon yang pergi merantau agar tidak melupakan kampung halaman.


Ingatlah bahwa ada danau yang sangat indah untuk  dilihat lagi. Kalau yang merantau itu laki-laki, ingatlah bahwa ada gadis-gadis di sini yang sudah menunggu (dinikahi),” kata Ibrahim, panjang-lebar.


Setidaknya pesan syair itu sudah dijalani Ibrahim sendiri. Ketika berkesempatan belajar seni tari di Institut Kesenian Jakarta, Ibrahim tetap kembali pulang. Dia mempraktekkan ilmunya untuk perkembangan kesenian di Gayo. Dia tidak hirau dengan ajakan teman-temannya agar tinggal di Jakarta.


Saya rasanya berat berpisah dengan alam Takengon. Kalau dulu hidup di Jakarta, bisa-bisa saya stres karena tidak bisa lagi memancing!”

Ibrahim tergelak keras sambil menunjuk hamparan  danau Laut Tawar, yang terlihat dari teras rumahnya. Sebagai seniman didong, Ibrahim bisa dibilang generasi yang hampir punah. Pemain-pemain didong era sekarang tak ada satupun yang mampu mengarang syair. Mereka hanya bisa mendendang syair di pertandingan didong. 



Ceh-ceh sekarang kalau main didong sesuka hatinya. Irama. Gerak tangan, dan asesoris permainan tidak seragam. Makanya, sekarang didong kurang digemari. Malah, kelompok-kelompok didong sekarang meniru lirik-lirik musik dangdut dan India. Cuma bahasa saja dirubah dalam bahasa Gayo,” kata Ibrahim.


Meski begitu, Ibrahim tidak bisa menolak setiap ceh-ceh didong datang minta dibuatkan syair didong.


Saya nggak ada beras nih. Kasihlah dulu karangannya,” alasan beberapa ceh kepada Ibrahim.


Ceh-ceh sekarang umumnya tidak punya pekerjaan lain, selain berdidong. Anehnya, kata Ibrahim, seperti menjadi kebiasaan kalau pertunjukkan didong lagi ramai ceh lalu menikah lagi. Jika pertunjukan sedang sepi, mereka bercerai. Ibrahim sudah berbicara dengan pemerintah Aceh Tengah untuk mengembalikan lagi seni didong sesuai pakemnya. Salah satunya, dengan menggalakkan lomba mengarang syair didong.


Saya pribadi akan terus menulis syair didong, mungkin sampai ajal menjemput. Saya suka dunia ini. Semua hasil yang saya terima juga karena didong,” kata Ibrahim, tegas.***


Sumber  :

Senin, 12 Januari 2015

~* RINDU *~

TERE LIYE

Rindu adalah persembahan Tere Liye di tahun 2014 yang betul-betul dirindukan. Rindu merupakan buku ke-20 karya pengarang produktif tersebut. Semua karya-karyanya memiliki ciri khas dan cita rasa yang berbeda. Namun bagi saya, Rindu adalah karya yang tak pernah terbayangkan. Saya tidak habis pikir, lagi-lagi Tere Liye menyuguhkan tema yang tidak biasa. Menurut saya, ide penulisan novel Rindu belum pernah ada di dunia perbukuan Indonesia. Sederhana, tidak muluk-muluk, tapi segar. Novel ini tentang perjalanan panjang jamaah haji Indonesia tahun 1938. Tentang kapal uap Blitar Holland. Tentang sejarah nusantara. Dan tentang pertanyaan-pertanyaan seputar masa lalu, kebencian, takdir, cinta, dan kemunafikan.
Ditulis dengan alur maju, memudahkan pembaca mengikuti jalan cerita. Namun di beberapa bagian, penulis menyuguhkan cerita-cerita lain dalam bentuk dialog, yang berkorelasi pada kisah yang tengah disajikan. Membuat pembaca mengenal secara utuh racikan cerita di novel ini, sehingga setting novel yang didominasi aktifitas penumpang di kapal Blitar Holland, tidak terasa membosankan.

Gaya kepenulisan novel Rindu terbilang sederhana. Membumi. Disisipi dialog bahasa Belanda, yang meski tidak disertakan artinya, pembaca terbantu memahami maksud kalimat dengan deskripsi yang ditulis Tere Liye.

“Mag ik uw kaatje, Meneer?” Salah satu kelasi bertanya sopan, persis saat Gurutta menginjak dek kapal, menanyakan tiket dan dokumen perjalanan. (hal. 35)

Novel ini dibuka dengan mukadimah yang unik. Tere Liye menukil fakta sejarah nusantara di tahun 1938. Salah satunya, Indonesia (yang masih bernama Hindia Belanda) mengikuti Piala Dunia di Prancis untuk pertama kalinya. Seterusnya, sosok kapal uap yang akan menjadi saksi seluruh cerita di novel setebal 544 ini mulai digambarkan penulis. Untuk kemudian, Tere Liye menghadirkan satu persatu tokoh-tokoh dalam novel ini.

Konon, novel yang baik adalah yang membuat pembaca jatuh cinta atau simpati terhadap tokoh-tokoh yang diciptakan penulisnya. Di novel Rindu, saya merasakan hal tersebut. Memang tidak pada semua tokoh utama,  bahkan, saya pribadi tidak terlalu jatuh hati dengan tokoh yang pertama kali dimunculkan Tere Liye, yaitu Daeng Andipati. Bukan apa-apa, hanya saja tokoh dengan karakter seperti Daeng Andipati ini sudah “banyak ditemukan”. Seperti yang digambarkaan Tere Liye, Daeng Andipati adalah pedagang muda dari Makassar, kaya raya, pintar dan baik hati (hal.11)

Daeng Andipati adalah penumpang Blitar Holland yang mengikutsertakan istri, kedua anaknya, serta seorang pembantu. Sosoknya berkarismatik, terpandang, digambarkan dekat dengan orang-orang Belanda. Sekilas, kehidupan Daeng Andipati nampak sempurna. Kebahagiaan seolah meliputinya sepanjang waktu. Istri yang cantik dan salehah, dua anak yang periang dan menggemaskan, juga karir bisnis yang menjanjikan. Namun ada satu hal yang tersembunyi di dada Daeng Andipati. Membuat seluruh kehidupan Daeng Andipati seolah tidak berarti. Adalah kebencian Daeng Andipati terhadap ayahnya.

“…Karena jika kau kumpulkan seluruh kebencian itu, kau gabungkan dengan orang-orang yang disakiti ayahku, maka ketahuilah, Gori. Kebencianku pada orang tua itu masih lebih besar. Kebencianku masih lebih besar dibandingkan itu semua!” (hal. 362)

Mencermati hubungan Daeng Andipati dengan ayahnya, kita seolah diajak menoleh kenyataan di sekitar kita. Betapa terkadang kebencian itu bisa lahir dari dua orang yang seharusnya terikat cinta. Ini adalah hal menarik yang diangkat Tere Liye dalam novel Rindu. Kabar baiknya, pertanyaan tentang kebencian itu memiliki jawaban yang mendamaikan. Sehingga siapapun pembaca yang mengalami hal serupa, bisa mengambil sikap terbaik. Seperti biasa, cara Tere Liye menyisipkan pesan-pesan pencerahan selalu sederhana, tidak menggurui. Namun tepat sasaran.

Tokoh lain yang menghiasi perjalanan panjang kapal Blitaar Holland adalah dua kakak beradik, Anna dan Elsa. Dua kanak-kanak ini memberi kesan dan warna tersendiri dalam novel Rindu. Saya membayangkan, novel Rindu ini pasti akan terasa berat tanpa kehadiraan Anna dan Elsa. Sementara Tere Liye, sudah sangat terampil menggambarkan karakter anak-anak dalam novel-novelnya. Saya sungguh jatuh cinta dengan Anna dan Elsa. Polos, periang, dan menggemaskan. Tere Liye memberikan porsi yang banyak untuk cerita mereka. Semakin menegaskan, bahwa kanak-kanak tidak pernah terlepas dari kehidupan kita. Kehadiran mereka adalah penghiburan. Dunia pasti terlihat membosankan tanpa sosok mereka. Ini sekaligus menjadi nilai lebih novel Rindu, ide tentang anak-anak yang menyertai orang dewasa pergi haji hampir tidak pernah disinggung dalam cerita manapun.

Hal baru dari novel Rindu ini adalah kemunculan tokoh ulama. Ini istimewa, karena di novel yang lain, Tere Liye belum pernah mengambil karakter seorang ulama. Yang ada di benak kita bila disebut kata ulama, tentu terbayang sosok manusia dengan seluruh kesempurnaan ilmu dan adab. Begitu juga dengan Ahmad Karaeng, seseorang yang dipanggil Gurutta itu digambarkan sebagai ulama yang sempurna. Berilmu. Beradab. Bahkan empat dari lima pertanyaan besar di novel Rindu terjawab sempurna dari lisannya yang bijak.
Namun Gurutta bukan ulama biasa. Ia ulama bersahaja, yang rendah hati, dicintai banyak orang karena tinggi budinya. Sikapnya terbuka pada siapapun. Mau membaur dengan orang-orang yang jauh kapasitas keilmuannya. Bahkan Gurutta akrab dengan orang-orang Belanda di kapal Blitar Holland, duduk satu meja dengan Chef Lars, berbincang santai dengan Ruben si Boatswain, dan melibatkan diri pada urusan-urusan penting selama di kapal bersama Kapten Phillips. Lain dari itu, saya sangat terkesan dengan hubungan Gurutta dengan Anna dan Elsa. Sesuatu yang jarang kita dapati, ulama besar namun begitu memuliakan anak-anak, begitu menghargai keberadaan mereka. Menyindir kita yang terkadang menganggap anak-anak itu merepotkan, menyebalkan, dan stigma negatif lainnya. Padahal, Rasulullaah sendiri sudah mencontohkan sikap terbaik beliau terhadap anak-anak.

Ada banyak hal menarik pada sosok Ahmad Karaeng. Namun diluar semua kelebihannya, Ahmad Karaeng tetaplah manusia biasa. Dia bahkan menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang begitu dia khawatirkan. Sesuatu yang mengganggu batinnya.

Lihatlah kemari wahai gelap malam. Lihatlah seorang yang selalu pandai menjawab pertanyaan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaannya sendiri.
Lihatlah ke mari wahai lautan luas. Lihatlah seorang yang selalu punya kata bijak untuk orang lain, tapi dia tidak pernah bisa bijak untuk dirinya sendiri. (hal. 316)

Seperti biasa, tema cinta tak akan pernah lepas dari novel dengan genre apapun. Dalam novel Rindu, Tere Liye juga menghadirkan tokoh yang berhasil membuat saya jatuh cinta, sepasang pasutri sepuh dari Semarang. Mbah Kakung dan Mbah Putri Slamet. Diantara ribuan penumpang kapal Blitar Holland, merekalah pasangan paling sepuh. Sekaligus paling romantis.

“Pendengaranku memang sudah tidak bagus lagi, Nak. Juga mataku sudah rabun. Tubuh tua ini juga sudah bungkuk. Harus kuakui itu.  Tapi aku masih ingat kapan aku bertemu istriku. Kapan aku melamarnya. Kapan kami menikah. Tanggal lahir semua anak-anak kami. Waktu-waktu indah milik kami. Aku ingat itu semua.” (hal. 205)

Tere Liye seakan berpesan kepada pembaca—terutama kawula muda, bahwa contoh konkret cinta sejati adalah pasangan yang sudah berpuluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga. Bukan kawula muda yang bergaul bebas, tanpa komitmen, dan melanggar begitu banyak rambu-rambu agama atas nama cinta. Sayangnya, ada hal yang membuat dada sesak dalam perjalanan cinta mereka. Sesuatu yang kemudian menjadi salah satu pertanyaan besar dalam novel ini.

Tema cinta juga datang dari tokoh pemuda bernama Ambo Uleng. Si kelasi pendiam yang suka berdiam diri menatap jendela bundar di kabin. Meski Tere Liye baru membeberkan dibalik kemisteriusan Ambo Uleng di halaman 483, sebenarnya pembaca sudah bisa menebak apa yang sesungguhnya terjadi dengaan pemuda itu. “Aku hanya ingin meninggalkan semuanya, Kapten.” (hal. 33)

Ambo Uleng merupakan tokoh dengan karakter yang juga berhasil membuat saya jatuh hati. Banyak sifat baik Ambo Uleng yang bisa dijadikan teladan. Keinginannya belajar mengaji salah satunya, tidak masalah meski harus belajar dengan Anna, si gadis kecil yang pernah ia tolong dalam sebuah peristiwa besar di Surabaya. Kecerdasan dan kecakapan Ambo uleng menyertai beberapa adegan heroik di novel ini. Namun yang paling berkesan, lima dari empat pertanyaan besar di novel ini—yang datang dari seseorang yang selalu memberikan jawaban, justru lahir dari sosok Ambo Uleng. Pertanyaan yang bukan dari penjelasan lisan atau tulisan, tapi dengan perbuatan tangan. (hal. 540)

Tokoh terakhir dari tokoh-tokoh sentral dalam novel Rindu adalah Bonda Upe. Guru mengaji anak-anak di kapal Blitar Holland ini membuat saya jatuh simpati. Tere Liye menggambarkan suasana batin Bonda Upe dengan sempurna. Siapapun yang membaca, seolah dapat merasakan sesuatu yang terpendam di dada perempuan itu. Sesak, gelisah, pun saat-saat ia menemukan secercah cahaya yang membuatnya bisa memandang hidupnya dengan perasaan lapang. Menariknya, Bonda Upe adalah warga keturunan China dan Muslim. Sesuatu yang mungkin masih menjadi hal yang asing pada saat itu.

“Ma, kalau Bonda Upe itu orang China, kenapa dia Islam?”
“Koh Acan di Kampung Butung juga Islam, apanya yang aneh?” (hal.108)

Dalam perjalanannya ke Tanah Suci, Bonda Upe membawa pertanyaan besar. Berkitan dengan masa lalunya sebagai cabo. Ada pelajaraan penting yang bisa diambil dari kehidupan Bonda Upe. Salah satunya adalah nilai ketulusan seorang Enlai, suami Bonda Upe.

“Dia tulus menyemangatimu, tulus mencintaimu. Padahal, dia tahu persis kau seorang cabo. Sedikit sekali laki-laki yang bisa menyayangi seorang cabo. Tapi Enlai bisa, karena dia menerima kenyataan itu. Dia peluk erat sekali. Dia bahkan tidak menyerah meski kau telah menyerah. Dia bahkan tidak berhenti meski kau telah berhenti. (hal. 312-313)

Bukan hanya berisi tokoh-tokoh yang menarik. Novel Rindu, meski hanyalah potret perjalanan ke Tanah Suci di atas kapal uap milik Belanda, novel ini juga menyajikan beragam konflik yang tidak pernah terduga. Diantaranya tragedi penyerangan kapal oleh bajak laut dari Somalia, kapal yang terancam terkatung-katung di laut lepas, seseorang yang mencoba membunuh Daeng Andipati, serta kasus yang membuat Gurutta dipenjara di sel kapal Blitar Holland.

Tere Liye, dalam novel ini, sekaligus menyinggung beberapa isu, diantaranya seputar toleransi beragama. Dikisahkan dalam perjalanan dari Kolombo menuju Jeddah, para kelasi mengadakan perayaan Natal. Sebagaimana yang terjadi di masyarakat tentang polemik Natal bersama dan mengucapkan selamat Natal. Dalam sebuah dialog antara Daeng Andipati dengan Anna, Tere Liye menegaskan makna toleransi dari sudut pandang yang lain.

“…tanpa menghadiri acara itu, kita tetap menghormati mereka dengan baik, sama seperti Kapten Philips yang sangat menghormati agama kita. Pun tanpa harus mengucapkan selamat, kita tetap bisa saling menghargai. Tanpa perlu mencampur adukkan hal-hal yang sangat prinsipil di dalamnya.” (hal. 499)

Di bagian yang lain, Tere Liye juga mengkritisi tentang kisah-kisah takhayul serta beragam pemberitaan hoax yang berceceran di media-media. Di mana diantara kaum Muslimin menelan mentah-mentah berita seputar bayi lahir dengan Al-Quran kecil, bayi lahir bisa bicara, ada asma Allah di awan, dan lain-lain sehingga mereka lupa bahwa mukjizat paling besar ada di rumah mereka. Diletakkan di lemari, di meja, dibiarkan berdebu tanpa pernah dibaca. (hal. 394)

Keberagaman tema dalam novel Rindu diperkaya dengan sosok dua guru yang hebat dan kreatif. Bapak Mangoenkoesoemo dan Bapak Soerjaningrat, dua guru terbaik dari Surabaya. Saya—yang berprofesi sebagai guru, banyak mendapat inspirasi dari potongan-potongan dalam novel yang mengambarkan kegiataan belajar mengajar anak-anak di kapal Blitar Holland. Saya yakin, pembaca lain yang juga berprofesi guru, akan mendapat kesan serupa.

Saya sempat tertipu mengikuti alur cerita dalam novel ini. Atau mungkin saya yang terlalu berburu-buru mengambil kesimpulan. Adalah adegan di mana ada “sesuatu” yang selalu menguntit Gurutta saat melewati lorong-lorong kapal di malam hari. Tere Liye, meski dengan gaya bahasa simpel, berhasil menciptakan atmosfir “horor”. Berhubung saya tidak suka dengan cerita-cerita makhluk halus dan sebagainya, saya sempat sensi. Protes. Kenapa Tere Liye harus menuliskan adegan horor-horor begini? Setelah tiba di halamaan berikut-berikutnya, saya akhirnya bisa bernafas lega. Alhamdulillah, ekspektasi saya keliru.

Novel Rindu tidak hanya bercerita tentang perjalanan panjang ke Tanah Suci. Dengan beragam tragedi, konflik, dan serangkaian peristiwa yang menyertainya. Novel ini semakin berbobot dengan cuplikan sejarah di beberapa daerah yang dijadikan setting. Saya seolah-olah bisa merasakan suasana kota Surabaya zaman lampau, naik trem listriknya. Berjalan-jalan di kota Banten, menyaksikan orang-orang pribumi berbaur dengan orang Belanda. Termasuk merasakan suasana kota Kolombo, berkeliling menaiki kereta sapi.
Sesampai di akhir novel—tiba di bagian prolog, saya anggap sudah tidak ada kejutan dari Tere Liye. Ending beberapa tokoh nyaris bisa ditebak. Namun lagi-lagi saya terpeleset. Novel ini, meski sekilas tidak memiliki konflik yang berat, yang menuntut penyelesaian. Rupanya memiliki bagian yang membuat saya tersentak. Ibarat film, selalu menjadi berkesan jika memiliki twist. Dan twist itu ada di novel ke-20 Tere Liye ini.

Untuk sampul buku, saya hanya ingin komentar, “Tumben, untuk sampul novel Rindu Tere Liye tidak mengadakan survey.” Biasanya Tere Liye melibatkan pembaca dalam pemilihan sampul (meski tidak semua buku). Dan menurut saya, sampul novel Rindu sudah cukup mewakili isi novelnya—meski bagi saya tidak begitu istimewa. Yang saya suka dari sampul novel Rindu adalah pemilihan warnanya. Meski begitu, sampul karya EMTE ini harus saya akui, berhasil membuat orang penasaran menyelami isi bukunya. Oya, saat menulis resensi ini, saya mendapat info di fanpage Tere Liye, novel Rindu sudah naik cetak 4 kali (di bulan pertama terbit). Nampaknya, buku ini memang persembahan spesial Tere Liye. Karya yang dirindukan di penghujung tahun 2014.

Akhirnya, novel Rindu ini menjadi bacaan dengan ide yang baru dan segar. Tema perjalanan haji di zaman lampau akan menyisakan kesan tersendiri. Selain itu, pembaca nampaknya akan dibuat jatuh cinta dengan tokoh-tokoh di dalamnya. Dan yang tak kalah penting, ada sesuatu pemahaman baru yang terekam. Sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh hati kita.


Judul Buku: Rindu
Penulis: Tere Liye
Editor: Andriyanti
Penerbit: Republika Penerbit
Jumlah Halaman: 544 halaman
Tahun Terbit: Oktober 2014