Selamat Datang Sahabat

Minggu, 25 Januari 2015

~* TENTANG FILM PUISI YANG TAK TERKUBURKAN *~

~* HASIL KARYA PUTRA KOTA DINGIN TAKENGON *~

 




FILM ACEH : Puisi Tak Terkuburkan

Sutradara : Garin Nugroho
Tema : Kisah Hidup Seniman Gayo
Artis : Ibrahim Kadir
Lokasi Shooting : Depok, Jawa Barat

Sinopsis :

Kisah nyata seorang penyiar didong, Ibrahim Kadir (Ibrahim Kadir), ketika dipenjara tahun 1965 di tanah Gayo, Aceh selama 22 hari. Dan akhirnya dilepaskan karena ternyata salah tangkap. Selama di penjara, tugas Ibrahim yaitu mengarungi kepala rekan-rekan sepenjara yang entah dibawa kemana, dan tak pernah kembali lagi. Ditembak mati, tanpa kejelasan pengadilannya. Mereka yang dipenjara juga tidak tahu kapan atau apakah mereka juga akan mendapat giliran mereka untuk dieksekusi. Suasana menunggu menjadi tak jelas juntrungannya. Dalam suasana demikian ini, Ibrahim Kadir masih sempat menciptakan puisinya. Reaksi berlainan mucul pula dari mereka yang terpenjara itu, maupun dari wanita-wanita yang bekerja di dapur penjara.


Ibrahim Kadir


Film “Puisi Tak Terkuburkan” di produksi 1999, merupakan salah satu karya terbaik Garin Nugroho yang berhasil memenangkan beberapa hadiah internasional. Antara lain “aktor terbaik” dalam festival film di Singapura. Ini adalah satu-satunya film Garin yang menggondol hadiah prestisius tersebut. Film ini diputar perdana di Belanda yang dihadiri Ibrahim Kadir. 




TENTANG IBRAHIM KADIR

Pernah dipenjara karena kesalahpahaman, seniman ini ingin menghabiskan hidupnya untuk kesenian Gayo.
KENANGAN-kenangan itu tersusun rapi dalam sebuah bingkai ukuran jumbo. Isinya sebagian besar kliping koran yang mengulas tentang dirinya dalam film Puisi Tak Terkuburkan. Ada pula gambar Garin Nugroho, sutradara film itu, serta aneka piagam penghargaan festival film dari luar negeri. Bingkai itu terpajang di dinding ruang tamu. Dua bingkai poster film Tjoet Nja’ Dhien menghiasi dinding lain.

Ibrahim Kadir ikut bermain dalam dua film itu. Dalam film Puisi Tak Terkuburkan, dia berperan sebagai tokoh utama. Film ini berkisah tentang pengalaman hidupnya sewaktu hidup dalam penjara pada 1965. Sedang dalam film TjoetNja’ Dhien garapan Eros Djarot, dia berperan sebagai Penyair, bermain bersama aktris Christine Hakim. Ibrahim masih tetap memelihara komunikasi dengan Garin dan Eros. Ketika dia ke Jakarta, Januari 2008 lalu, dia menyempatkan diri datang rumah Eros. Eros pula yang membangun rumahnya di kampung Kemili, Takengon, Aceh Tengah. 

Sudah seperti keluarga. Kalau Garin nggak ketemu. Dia sedang di Jerman. Dia bilang akan membuat film lagi tentang Aceh dan mengajak saya lagi. Entah, kapan itu,” katanya.

Bermain film adalah pengalaman lain Ibrahim selain mengajar tari, teater dan mengarang puisi. Saat senggang dia memutar ulang film Puisi Tak Terkuburkan bersama cucu-cucunya. Film ini juga kerap ditonton tetangga atau pejabat di Takengon. Ibarat sebuah album foto, dia berharap orang-orang mengingat kembali penggalan-penggalan masa lalunya. 

Saya hanya punya satu kasetnya. Takut kalau sering diputar jadi rusak. Saya mau minta tolong Garin kirim seribu buah dalam bentuk kepingan CD,” katanya. 

Usianya sudah 66 tahun. Satu persatu giginya mulai tanggal. Badan yang dulu tegap tak tampak lagi. Kulit tubuhnya pun sudah menggelambir di sana-sini. Hanya satu yang tak berubah, suaranya tetap meledak-ledak. Kadang, saya mendengar gaya bertutur dia seperti sedang berpuisi. Suatu sore di awal Februari 2008 itu, rumah sedang sepi. Ibrahim pamit sebentar. Suara azan zuhur memanggilnya datang sembahyang ke masjid di samping rumah. 

AWAL Oktober 1965. Di kota Takengon, Aceh Tengah, lelaki dan perempuan menyesaki sel penjara yang dingin dan pengap. Tiap sel dipisah dinding dari papan. Wajah-wajah tahanan terlihat tegang dan penuh cemas. Malam itu, tahanan baru bernomor urut 25 baru saja masuk. Tubuhnya gemuk dan mengenakan sandal jepit. Lelaki itu…bernama Ibrahim Kadir. Ibrahim menghuni sel nomor tujuh. Orang-orang di sel itu menatap dingin kedatangannya. Sambil membalut tubuhnya dengan kain sarung, Ibrahim menghempaskan diri di pojok sel. 

Udara malam yang dingin di luar sana telah menyusup ke celah-celah dinding penjara. Ibrahim mencoba membaringkan tubuhnya di atas tikar pandan. Matanya sungguh sulit terpejam. Dia masih tidak mengerti mengapa dirinya harus ada dalam ruang penjara yang pengap itu. Lalu dia duduk lagi, termenung. Siang tadi belasan tentara mengambil dirinya ketika mengajar kesenian di sekolah dasar. Kejadiannya cepat sekali. Apalagi, dia belum sempat pamit kepada istrinya, yang kebetulan sedang mengajar di kelas lain di sekolah itu. Sepanjang perjalanan dia tidak berani bertanya. Rasa ingin tahunya tiba-tiba membuncah. Kebetulan dikamar itu, dia bertemu seseorang. Dia mengenalnya. Lelaki itu, atasannya di dinas pendidikan Aceh Tengah. 

“Saya ini dibawa kemari. Ndak ditanya. Apa ini?” 
“Saya pun tak tahu. Saya juga langsung dibawa kemari. Nantilah kita tahu, kalau ditanya,” jawab lelaki itu. 

Sel nomor tujuh itu makin lama makin sesak oleh penghuni baru. Ada yang tidur dibawah kaki dengan alas tikar pandan, ada yang berimpitan di atas dipan. Lamat-lamat telinga Ibrahim menangkap suara bisik-bisik antar mereka. 

“PKI di Jakarta memberontak. Jenderal-jenderal dibunuh.”

Dari cerita orang-orang di penjara, Ibrahim mendengar setelah pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) gagal, militer melakukan ‘pembersihan’ terhadap anggota-anggota partai itu, salah satunya di Aceh Tengah. Ibrahim mengira semua yang berada di penjara itu adalah anggota PKI. Dia ingat ketika partai itu memberikan bantuan alat bertani berupa cangkul di kampungnya. Tapi dia bukan anggota PKI. Dia tidak menerima bantuan itu. Dia mendengar kabar para penerima bantuan itu ikut pula ditangkap.

Memasuki hari ke-10, penghuni penjara mulai berkurang. Ibrahim paham bagaimana hidup mereka berakhir. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri saat menuruti perintah tentara-tentara itu mengikat dan membungkus tubuh para tahanan dengan karung goni. Tapi, dia tidak berdaya di tengah todongan senapan tentara-tentara itu. Malam itu, seorang tentara sigap memberi perintah. Para tahanan yang diangkut dengan truk kemudian dibagi. 


Empat pertama di tikungan pertama. Empat berikutnya di tikungan berikutnya…”


Di sebuah bukit sudah bersiap puluhan lelaki yang menjadi algojo. Tangan mereka menggenggam tombak dan parang. Dia menyaksikan tubuh-tubuh itu dibantai dari jarak 15 meter. Tentara-tentara itu, anehnya hanya berdiri menonton. Ibrahim terhenyak. Dia tidak tahan melihat tubuh-tubuh itu menggelepar di tanah. Dia merasa gilirannya sudah tiba.


Sudah... Kamu masuk ke truk. Giliran kamu besok...!” seru tentara itu kepadanya. 



Seketika tubuh Ibrahim menjadi lemas. Sepanjang perjalanan kembali ke penjara, dia membisu. Dia merasakan maut kian dekat. Malam ke-14, truk-truk tentara datang lagi ke penjara. Para tahanan yang dianggap anggota PKI kembali akan dieksekusi. Seorang petugas penjara memanggil tahanan sesuai nomor urut. Si pemilik nomor bergegas keluar sel penjara.


“Nomor satu, dua, tiga…dua puluh empat… dua puluh enam…” 

Ternyata setelah memanggil nomor 24, petugas itu langsung lompat menyebut nomor 26. Ibrahim tidak mendapatkan giliran yang dijanjikan itu. Hidupnya seperti tengah dipermainkan. Dia protes kepada petugas itu.


“Nomor dua puluh lima tidak ada!” Petugas itu menjawab dengan nada tinggi.


Malam ke-16… malam ke-18… malam ke-20…hingga malam ke-22, nama Ibrahim tak dipanggil juga. Temannya dalam sel nomor tujuh yang awalnya sangat sesak kini berkurang. Lama-lama Ibrahim tidak tahan lagi. Pikirnya, pembunuhan toh akan datang juga. Dia sudah memutuskan tidak mau lagi ikut pergi ke tempat eksekusi. Dia tidak sanggup lagi menunggu datangnya kematian itu. Tekadnya sudah bulat, ingin ditembak di penjara saat itu juga. 


Sepanjang malam ke-22 itu Ibrahim tidak bisa tidur. Tubuhnya gemetar. Dia kemudian membuka sobekan-sobekan kertas rokok berisi sajak-sajak yang ditulisnya dalam bahasa Gayo. Sajak itu diperuntukkan kepada ibunya sebagai ungkapan perasaan jika kematian menjemputnya. Terbayang pula wajah istrinya, Rasuna dan Adrian, anak lelakinya yang masih bayi.


Ibrahim melangkah membuka daun jendela selnya. Seketika  udara dingin menyeruak masuk. Kedua tangannya  menggenggam erat jeruji-jerujinya. Dia menanggalkan baju  seperti menantang tentara-tentara itu menembak langsung  ke dadanya.  Tiba-tiba dia menjerit keras. Suaranya bergaung ke sudut-sudut penjara.

“Mamak…
Batang mempelam tergayut angin 
Batang tubuhku sekarang terguncang
Berat telah berkurang ibarat daun layu
Bunga di tanganku terampas hantu
Tak melintas lagi kepak burung di atas atap yang tiris
Tak singgah lagi lalat di lantai yang rata
Tiada lagi bisik burung di ujung tangga
Sebatangkara menimbang bimbang

Mamak…
Bukit hijau itu kadang terbayang
Remuk pundakku mengemban beban
Di punggung kayu basah tersiram hujan
Tempatku bercermin terbayang senyampan
Ranggaskah sudah rumput halaman
Layukah sudah pucuk yang terinjak
Luruhkan sudah putik bunga telaga
Nestapa jasad terombang-ambing gelombang...”


Ibrahim berharap ratapannya itu akan mengundang kemarahan seisi penjara, terutama sipir. Semoga itu berujung pada perintah penembakan dirinya, saat itu juga. Jika sudah mati, keluarganya bisa melihat dan membawa jasadnya pulang. Dia tidak mau hidupnya berakhir seperti tahanan-tahanan itu, yang jasadnya terguling lalu lenyap di balik bukit.
Ibrahim lalu membusung dadanya sambil bersuara keras. 

“Oiii…tentaraa…tembaaak nih dadaku!”

Tapi… kemarahan yang diharap itu tidak datang. Selama Ibrahim meneriakkan ratapannya, tidak ada yang marah atau protes karena terganggu. Malah setelah dia selesai, penghuni sel terbawa oleh perasaan haru, lalu mereka menangis. Paginya, ternyata ratapan Ibrahim itu diperdengarkan dalam sebuah gedung kesenian dekat lingkungan penjara. Acara itu dihadiri orang-orang Takengon, aktivis partai, dan petinggi militer dari Banda Aceh. Mereka larut mendengar suara Ibrahim. Seorang aktivis Partai Nasional Indonesia bertanya kepada panitia kegiatan itu.

“Suara siapa ini?”
“Ibrahim Kadir.”
“Di mana dia?”
“Di dalam.”

Dia lalu menujuk bangunan penjara. Aktivis partai itu terperanjat. 

“Mengapa... Apa salahnya?”

Aktivis itu makin kaget mendengar Ibrahim ditahan karena dianggap anggota PKI. Dia protes kepada sipir penjara. Suaranya yang keras membuat suasana gedung jadi ricuh.

“Dia kan anggota kami! Dia PNI (Partai Nasional Indonesia)! Jangan sembarangan (menahan)!”

Hari itu juga, Ibrahim dikeluarkan dari penjara. Dia dibawa ke kantor distrik militer Aceh Tengah. Di sana sudah menunggu para tentara, jaksa, dan bupati Aceh Tengah. Dia diberitahu tidak terlibat sebagai anggota PKI. Jaksa berdalih nama ‘Ibrahim’ yang dilaporkan anggota PKI adalah ‘Ibrahim’ yang lain.

Namun, Ibrahim tidak terima alasan jaksa. Dengan wajah penuh rasa amarah, dia hendak memukul seorang tentara sembari berteriak.

“Pantengong…!!!”

Ibrahim meneriaki mereka “bodoh”. Seorang tentara lain datang melerai dan memegang tubuhnya di kursi. Ibrahim masih berteriak.

Sudah 22 hari aku ditahan tanpa tahu apa kesalahanku. Sekarang aku dinyatakan bebas. Apa-apaan ini! Mengapa mesti salah menangkap! Sekarang aku sudah lihat perbuatan kalian, membantai orang-orang itu. Tidak! Aku tidak mau bebas! Aku mau tetap dalam penjara itu!”

Jaksa itu mencoba membujuk Ibrahim.

“Kalau Bapak tidak ditangkap saat itu, mungkin Bapak akan dibunuh massa yang menyangka Bapak (anggota) PKI.”

Dia akhirnya luluh. Sebulan kemudian, dia kembali mengajar kesenian di sekolah. 

“Kita dilahirkan ke dunia mendapat tugas dengan berbagai kesalahan. Kesalahan setiap manusia tidak dapat dilenyapkan dengan kematian. Sebelum kamu kenali sesuatu, jangan kamu sentuh. Manusia masih bisa berubah,” ujar Ibrahim kepada saya, sambil menghisap rokok di teras rumahnya yang dingin.

--------------
PADA 1988, Eros Djarot datang ke  Aceh untuk membuat film kepahlawanan  pejuang wanita asal Aceh, Tjoet Nja’  Dhien. Nama pejuang ini kemudian digunakan sebagai judul film itu. Eros bersama kru film dari Jakarta menginap di sebuah hotel di kota Sigli, Pidie. Di situ antara lain, ada aktris Christine Hakim yang akan menjadi  pemeran tokoh Tjoet Nja’ Dhien, Slamet Rahardjo Djarot, Pietra Jaya Burnama, dan Rita Zaharah. Selama berada di Aceh, Eros juga  mencari orang-orang lokal yang akan  memerankan beberapa tokoh dalam  filmnya, salah satunya peran seorang  penyair.


Suatu hari, mata Eros terantuk pada  seorang lelaki yang tengah membaca  puisi. Gerak tubuhnya begitu ekspresif,  kelihatan menghayati selama membaca  puisi.  Lelaki itu Ibrahim Kadir.


“Mau ikut main film,” kata Eros 
mengajak lelaki itu.


“Sebagai apa?”
“Penyair. Besok datang ke hotel untuk casting.”

Ibrahim tidak percaya akan diajak bermain film. Selama  ini dia hanya bisa membuat puisi, bersyair, mengajar tari,  dan sesekali bermain teater. Tapi, apakah bisa main film? Ah, dia ragu.


Setelah pulang ke rumah, Ibrahim hampir melupakan  ajakan Eros tadi. Rupanya dia mendapat telepon diminta  datang ke hotel untuk casting atau uji peran. Saat itu juga,  Ibrahim berangkat tanpa banyak bekal. Istrinya hanya  memberi uang sekadar ongkos angkutan. Di perjalanan Ibrahim tidak yakin apakah diterima, sebab  kata Eros ada beberapa orang yang akan diuji untuk peran Penyair. Sampai hotel, dia melihat orang-orang sudah keluar ruangan. Tampaknya, proses casting hampir selesai. Tapi, Eros sedang menunggunya. Dia meminta Ibrahim  memperagakan karakter Penyair seperti tertulis dalam skenario film Tjoet Nja’ Dhien. Tak lama, peragaan itu selesai.


Saat itu Ibrahim tidak diberitahu apakah diterima sebagai pemeran Penyair. Sampai sehari kemudian, dia diundang kru film menghadiri jamuan pesta di rumah dinas gubernur di Banda Aceh. Di sana, Eros akan mengumumkan nama-nama pemeran film Tjoet Nja’ Dhien. Ibrahim tidak terlalu hirau dengan acara itu. Dia memilih duduk lesehan sambil asyik merokok di halaman pendopo. Tiba-tiba seseorang keluar memanggil-manggil namanya. 



“Mana yang namanya Ibrahim.”


“Ya, saya yang namanya Ibrahim.”
“Bapak disuruh masuk.”

Ibrahim bergegas bergabung ke dalam pendopo. Semua orang yang hadir menoleh kepadanya sembari menyungging senyum. Ibrahim malah bingung.


“Ada apa saya disuruh masuk,” katanya dengan polos.
“Bapak terpilih sebagai pemeran Penyair!”

Tokoh penyair sering muncul di bagian akhir film itu. Dengan nyanyian daerah dan syair-syair perjuangan Aceh, si penyair memompa semangat juang pasukan Tjoet Nja’ Dhien sepulang mereka dari medan perang. 



IBRAHIM berkenalan dengan sutradara Garin Nugroho pada 1999 atau sebelas tahun setelah film Tjut Nja’ Dhien beredar di bioskop. Garin juga tertarik membuat film dengan tema Aceh, meski tidak tahu temanya soal apa. Awal perkenalan itu, ketika anak buah Garin mengajak Ibrahim melihat syuting film dokumenter Anak Seribu Pulau di danau Laut Tawar, Takengon.

Di sela-sela istirahat syuting, Ibrahim diminta mendendangkan lagu-lagu Gayo, termasuk syair Ratap yang dibuat ketika dia ditahan dalam penjara. Liriknya sungguh menyayat hati. Diam-diam seorang kru merekam Ibrahim dengan kamera video. 

“Mereka menangis setelah mendengar syair itu,” kisah Ibrahim.


Rupanya Garin tertarik mencari tahu kehidupan Ibrahim setelah menonton kaset rekaman itu. Dia melakukan  riset mengenai seni didong dan membaca puisi-puisi Ibrahim. Garin makin tergerak membuat film begitu tahu kisah hidup Ibrahim di dalam penjara. Ibrahim diundang datang ke Jakarta. Selama tiga bulan di sana, Garin mencatat detail kisah hidupnya dan dijadikan skenario film. Garin terenyuh mendengar kisah itu. Ya, dia memutuskan mengangkat kisah itu dalam film berjudul "Puisi Tak Terkuburkan".


Sudah Pakcik, kita langsung bikin film saja,” ujar Garin.

Syuting film seluruhnya berlangsung di kawasan Depok, Jawa Barat, selama enam hari, dan pemain sebagian besar orang-orang Gayo yang tinggal di Jakarta. Alasan mengambil lokasi di luar Aceh, karena situasi di sana sedang dirudung konflik bersenjata. Sebuah studio disulap menjadi penjara, begitu pula pemilihan para pemain dipilih sesuai detail kisah Ibrahim. 




“Pemilihan Berliana oleh Garin karena saya pernah lihat perempuan dibunuh yang wajahnya sangat cantik, mirip dia,” kata Ibrahim.


Pemain yang dimaksud itu adalah Berliana Febrianti, seorang aktris yang kerap muncul dalam sinetron-sinetron televisi. Syuting film Puisi Tak Terkuburkan ternyata menguras emosi Ibrahim, ketimbang saat bermain dalam film Tjoet Nja’ Dhien. Selama enam hari, Garin seperti mengungkit lagi penderitaan Ibrahim, yang sesungguhnya pelan-pelan  sudah dia lalui. Itu sebabnya, syuting terpaksa dihentikan  karena Ibrahim melolongkan tangisan secara tiba-tiba, atau  sebaliknya para pemain yang tiba-tiba menangis mendengar kisah Ibrahim.


“Saking emosionalnya, saya selalu protes kepada Garin kalau ada adegan yang tidak sesuai dengan pengalaman saya di penjara,” kenang Ibrahim.


Setahun kemudian, film Puisi Tak Terkuburkan mengikuti berbagai festival film internasional dengan memakai judul "A Poet". Ibrahim terpilih sebagai aktor terbaik dalam Singapore International Film Festival. Penghargaan juga diraih dalam festival film yang diadakan Amnesty International, sebuah lembaga hak asasi manusia di Belanda, pada 2001.


Pada tahun-tahun itu situasi Aceh masih mencekam. Keamanan penduduk terancam oleh konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka atau GAM dengan tentara Indonesia. Kadang, banyak penduduk yang tidak bersalah menjadi korban. Ibrahim berharap film Puisi Tak Terkuburkan memberi pesan perdamaian.

Apa misi film ini?” tanya seorang aktivis Amnesty International kepada Ibrahim.


Ibrahim lantas berkisah tentang sebuah kehidupan indah sebelum konflik bergejolak di kampungnya.


Rumahku di kaki bukit. Tiap hari gadis-gadis mencari kayu ke sana. Setelah mereka menimbun belahan-belahan kayu, mereka beristirahat sebentar di kaki bukit sambil mendengar suara angin dan kicau burung. Kadang-kadang mereka bercerita sambil bergutu dan mendendang lagu tentang kekasihnya, ibunya, atau tentang bagaimana hari depannya. Ketika senja mereka pulang ke rumah dengan wajah riang. Sekarang mereka tak bisa lagi ke bukit itu karena sudah ada senjata (konflik). Padahal bukit itu tidak dibeli dari Cina atau Belanda. Bukit yang melahirkan mereka. Ke tempat lahirnya juga, mereka tidak bisa pergi.”


“Jadi saya ingin misi film ini, biarkan gadis-gadis itu bisa kembali ke bukit agar bisa senyum bersama bunga-bunga.”


IBRAHIM lahir pada 1944 di sebuah rumah panggung dekat danau Laut Tawar, Takengon. Dia tidak tahu kapan tanggal dan bulannya. Nama Kadir adalah nama ayahnya. Sejak kecil dia sudah punya bakat berkesenian, mengikuti jejak Kadir, sebagai seorang pemain tari seudati dan didong. Didong merupakan seni bertutur dengan nyanyian dan dimainkan oleh banyak orang. Di antara mereka ada satu orang menjadi pengatur irama yang disebut sebagai ceh. 


Dalam tradisi rakyat Gayo, didong menjadi media menceritakan  kebiasaan nenek moyang, membawa pesan humanisme dan kearifan lokal. Ada puluhan kelompok didong di Tanah Gayo. Setiap ada hajatan kelompok-kelompok itu dipertandingan semalam suntuk. Siapa yang punya syair paling bagus, dialah yang menang.



Zaman saya kecil, tak sembarang jadi pemain didong. Kalau belum menikah belum boleh jadi anggota kelompok,”ujar Ibrahim.


Ibrahim kecil, oleh teman-teman mainnya, hanya disuruh mencuri ubi atau ayam milik orang lain. Menurut adat  masyarakat Gayo pada masa itu, pemilik ubi atau ayam tidak keberatan miliknya dicuri karena anak-anak selalu ikut memelihara sawah dan ladangnya, tanpa harus membayar upah.


“Melalatoa selalu suruh saya mencuri ubi. Kalau tidak, dia akan memukul saya,” kenang Ibrahim sambil terkekeh.


Lelaki yang disebut itu adalah Muhammad Junus Melalatoa, teman akrab Ibrahim. Kelak, Melalatoa dikenal sebagai profesor antropologi Universitas Indonesia. Dia meneliti karya-karya didong para seniman Gayo, termasuk Ibrahim. Penelitian itu telah dibukukan oleh Yayasan Obor Indonesia berjudul Didong Pentas Kreativitas Gayo.


“Karangan-karangan didong pada generasi Ibrahim terasa sentimentil dan romantis,” kata Melalatoa dalam bukunya itu.


Sisi romantis itu diperlihatkan Ibrahim ketika jatuh cinta kepada Rasuna, istrinya, di bangku sekolah dasar. Di bawah bangku, Ibrahim sengaja menyenggolkan kakinya ke betis Rasuna, lalu Rasuna membalas dengan senyum.



“Dia paling cantik di ruangan kelas, makanya saya suka dia,” kenang Ibrahim, tersenyum.


Ibrahim kecil juga belajar menuangkan perasaan-perasaan sentimentil tadi ke dalam lagu. Apalagi, dia punya banyak waktu mengarang setelah tidak diperbolehkan gabung dalam kelompok didong. Karya pertamanya, berjudul "Tajuk Dilem" dibuat dalam bahasa Gayo, termasuk lirik dan melodinya, ketika dia berusia 10 tahun. Sebagian lirik lagu itu, dalam bahasa Indonesia artinya kira-kira begini;

Padamu Takengon, aku selalu rindu.
Juga ayah dan ibuku, oh ibu.
Terakhir kupandang Takengon dari bukit Singgah Mata.
Jika aku pergi, oh Ibu dan ayah akan sedih termangu.
Bila matahari meninggi, ayah duduk di meunasah (masjid).
Berfikir kemana hari ini pergi (mencari nafkah). Besokpun
kemana.

Oh.. Takengon, aku rindu.
Kapan kita ketemu lagi
Padamu Takengon, rinduku selalu.

Saat saya temui, Ibrahim menyanyikan syair itu dalam  melodi bahasa Gayo. Liriknya terdengar menyayat dan mendayu. Mustawalad, seorang teman saya asal Gayo, yang ikut mendengar syair itu terlihat berkaca-kaca.


Rasanya saya mau nangis. Sejak dulu saya sering dengar syair itu, baru tahu kalau yang bikin dia,” ujar Mustawalad kepada saya, usai mendengar syair itu. Dia merinding. 

Tajuk Dilem berkisah tentang keindahan alam Takengon dengan danau Laut Tawar dan pegunungan yang sejuk. Karya ini, 30 tahun kemudian, cukup populer di telinga masyarakat Gayo. Menurut Ibrahim, syair itu berpesan kepada orang-orang Takengon yang pergi merantau agar tidak melupakan kampung halaman.


Ingatlah bahwa ada danau yang sangat indah untuk  dilihat lagi. Kalau yang merantau itu laki-laki, ingatlah bahwa ada gadis-gadis di sini yang sudah menunggu (dinikahi),” kata Ibrahim, panjang-lebar.


Setidaknya pesan syair itu sudah dijalani Ibrahim sendiri. Ketika berkesempatan belajar seni tari di Institut Kesenian Jakarta, Ibrahim tetap kembali pulang. Dia mempraktekkan ilmunya untuk perkembangan kesenian di Gayo. Dia tidak hirau dengan ajakan teman-temannya agar tinggal di Jakarta.


Saya rasanya berat berpisah dengan alam Takengon. Kalau dulu hidup di Jakarta, bisa-bisa saya stres karena tidak bisa lagi memancing!”

Ibrahim tergelak keras sambil menunjuk hamparan  danau Laut Tawar, yang terlihat dari teras rumahnya. Sebagai seniman didong, Ibrahim bisa dibilang generasi yang hampir punah. Pemain-pemain didong era sekarang tak ada satupun yang mampu mengarang syair. Mereka hanya bisa mendendang syair di pertandingan didong. 



Ceh-ceh sekarang kalau main didong sesuka hatinya. Irama. Gerak tangan, dan asesoris permainan tidak seragam. Makanya, sekarang didong kurang digemari. Malah, kelompok-kelompok didong sekarang meniru lirik-lirik musik dangdut dan India. Cuma bahasa saja dirubah dalam bahasa Gayo,” kata Ibrahim.


Meski begitu, Ibrahim tidak bisa menolak setiap ceh-ceh didong datang minta dibuatkan syair didong.


Saya nggak ada beras nih. Kasihlah dulu karangannya,” alasan beberapa ceh kepada Ibrahim.


Ceh-ceh sekarang umumnya tidak punya pekerjaan lain, selain berdidong. Anehnya, kata Ibrahim, seperti menjadi kebiasaan kalau pertunjukkan didong lagi ramai ceh lalu menikah lagi. Jika pertunjukan sedang sepi, mereka bercerai. Ibrahim sudah berbicara dengan pemerintah Aceh Tengah untuk mengembalikan lagi seni didong sesuai pakemnya. Salah satunya, dengan menggalakkan lomba mengarang syair didong.


Saya pribadi akan terus menulis syair didong, mungkin sampai ajal menjemput. Saya suka dunia ini. Semua hasil yang saya terima juga karena didong,” kata Ibrahim, tegas.***


Sumber  :

Senin, 12 Januari 2015

~* RINDU *~

TERE LIYE

Rindu adalah persembahan Tere Liye di tahun 2014 yang betul-betul dirindukan. Rindu merupakan buku ke-20 karya pengarang produktif tersebut. Semua karya-karyanya memiliki ciri khas dan cita rasa yang berbeda. Namun bagi saya, Rindu adalah karya yang tak pernah terbayangkan. Saya tidak habis pikir, lagi-lagi Tere Liye menyuguhkan tema yang tidak biasa. Menurut saya, ide penulisan novel Rindu belum pernah ada di dunia perbukuan Indonesia. Sederhana, tidak muluk-muluk, tapi segar. Novel ini tentang perjalanan panjang jamaah haji Indonesia tahun 1938. Tentang kapal uap Blitar Holland. Tentang sejarah nusantara. Dan tentang pertanyaan-pertanyaan seputar masa lalu, kebencian, takdir, cinta, dan kemunafikan.
Ditulis dengan alur maju, memudahkan pembaca mengikuti jalan cerita. Namun di beberapa bagian, penulis menyuguhkan cerita-cerita lain dalam bentuk dialog, yang berkorelasi pada kisah yang tengah disajikan. Membuat pembaca mengenal secara utuh racikan cerita di novel ini, sehingga setting novel yang didominasi aktifitas penumpang di kapal Blitar Holland, tidak terasa membosankan.

Gaya kepenulisan novel Rindu terbilang sederhana. Membumi. Disisipi dialog bahasa Belanda, yang meski tidak disertakan artinya, pembaca terbantu memahami maksud kalimat dengan deskripsi yang ditulis Tere Liye.

“Mag ik uw kaatje, Meneer?” Salah satu kelasi bertanya sopan, persis saat Gurutta menginjak dek kapal, menanyakan tiket dan dokumen perjalanan. (hal. 35)

Novel ini dibuka dengan mukadimah yang unik. Tere Liye menukil fakta sejarah nusantara di tahun 1938. Salah satunya, Indonesia (yang masih bernama Hindia Belanda) mengikuti Piala Dunia di Prancis untuk pertama kalinya. Seterusnya, sosok kapal uap yang akan menjadi saksi seluruh cerita di novel setebal 544 ini mulai digambarkan penulis. Untuk kemudian, Tere Liye menghadirkan satu persatu tokoh-tokoh dalam novel ini.

Konon, novel yang baik adalah yang membuat pembaca jatuh cinta atau simpati terhadap tokoh-tokoh yang diciptakan penulisnya. Di novel Rindu, saya merasakan hal tersebut. Memang tidak pada semua tokoh utama,  bahkan, saya pribadi tidak terlalu jatuh hati dengan tokoh yang pertama kali dimunculkan Tere Liye, yaitu Daeng Andipati. Bukan apa-apa, hanya saja tokoh dengan karakter seperti Daeng Andipati ini sudah “banyak ditemukan”. Seperti yang digambarkaan Tere Liye, Daeng Andipati adalah pedagang muda dari Makassar, kaya raya, pintar dan baik hati (hal.11)

Daeng Andipati adalah penumpang Blitar Holland yang mengikutsertakan istri, kedua anaknya, serta seorang pembantu. Sosoknya berkarismatik, terpandang, digambarkan dekat dengan orang-orang Belanda. Sekilas, kehidupan Daeng Andipati nampak sempurna. Kebahagiaan seolah meliputinya sepanjang waktu. Istri yang cantik dan salehah, dua anak yang periang dan menggemaskan, juga karir bisnis yang menjanjikan. Namun ada satu hal yang tersembunyi di dada Daeng Andipati. Membuat seluruh kehidupan Daeng Andipati seolah tidak berarti. Adalah kebencian Daeng Andipati terhadap ayahnya.

“…Karena jika kau kumpulkan seluruh kebencian itu, kau gabungkan dengan orang-orang yang disakiti ayahku, maka ketahuilah, Gori. Kebencianku pada orang tua itu masih lebih besar. Kebencianku masih lebih besar dibandingkan itu semua!” (hal. 362)

Mencermati hubungan Daeng Andipati dengan ayahnya, kita seolah diajak menoleh kenyataan di sekitar kita. Betapa terkadang kebencian itu bisa lahir dari dua orang yang seharusnya terikat cinta. Ini adalah hal menarik yang diangkat Tere Liye dalam novel Rindu. Kabar baiknya, pertanyaan tentang kebencian itu memiliki jawaban yang mendamaikan. Sehingga siapapun pembaca yang mengalami hal serupa, bisa mengambil sikap terbaik. Seperti biasa, cara Tere Liye menyisipkan pesan-pesan pencerahan selalu sederhana, tidak menggurui. Namun tepat sasaran.

Tokoh lain yang menghiasi perjalanan panjang kapal Blitaar Holland adalah dua kakak beradik, Anna dan Elsa. Dua kanak-kanak ini memberi kesan dan warna tersendiri dalam novel Rindu. Saya membayangkan, novel Rindu ini pasti akan terasa berat tanpa kehadiraan Anna dan Elsa. Sementara Tere Liye, sudah sangat terampil menggambarkan karakter anak-anak dalam novel-novelnya. Saya sungguh jatuh cinta dengan Anna dan Elsa. Polos, periang, dan menggemaskan. Tere Liye memberikan porsi yang banyak untuk cerita mereka. Semakin menegaskan, bahwa kanak-kanak tidak pernah terlepas dari kehidupan kita. Kehadiran mereka adalah penghiburan. Dunia pasti terlihat membosankan tanpa sosok mereka. Ini sekaligus menjadi nilai lebih novel Rindu, ide tentang anak-anak yang menyertai orang dewasa pergi haji hampir tidak pernah disinggung dalam cerita manapun.

Hal baru dari novel Rindu ini adalah kemunculan tokoh ulama. Ini istimewa, karena di novel yang lain, Tere Liye belum pernah mengambil karakter seorang ulama. Yang ada di benak kita bila disebut kata ulama, tentu terbayang sosok manusia dengan seluruh kesempurnaan ilmu dan adab. Begitu juga dengan Ahmad Karaeng, seseorang yang dipanggil Gurutta itu digambarkan sebagai ulama yang sempurna. Berilmu. Beradab. Bahkan empat dari lima pertanyaan besar di novel Rindu terjawab sempurna dari lisannya yang bijak.
Namun Gurutta bukan ulama biasa. Ia ulama bersahaja, yang rendah hati, dicintai banyak orang karena tinggi budinya. Sikapnya terbuka pada siapapun. Mau membaur dengan orang-orang yang jauh kapasitas keilmuannya. Bahkan Gurutta akrab dengan orang-orang Belanda di kapal Blitar Holland, duduk satu meja dengan Chef Lars, berbincang santai dengan Ruben si Boatswain, dan melibatkan diri pada urusan-urusan penting selama di kapal bersama Kapten Phillips. Lain dari itu, saya sangat terkesan dengan hubungan Gurutta dengan Anna dan Elsa. Sesuatu yang jarang kita dapati, ulama besar namun begitu memuliakan anak-anak, begitu menghargai keberadaan mereka. Menyindir kita yang terkadang menganggap anak-anak itu merepotkan, menyebalkan, dan stigma negatif lainnya. Padahal, Rasulullaah sendiri sudah mencontohkan sikap terbaik beliau terhadap anak-anak.

Ada banyak hal menarik pada sosok Ahmad Karaeng. Namun diluar semua kelebihannya, Ahmad Karaeng tetaplah manusia biasa. Dia bahkan menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang begitu dia khawatirkan. Sesuatu yang mengganggu batinnya.

Lihatlah kemari wahai gelap malam. Lihatlah seorang yang selalu pandai menjawab pertanyaan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaannya sendiri.
Lihatlah ke mari wahai lautan luas. Lihatlah seorang yang selalu punya kata bijak untuk orang lain, tapi dia tidak pernah bisa bijak untuk dirinya sendiri. (hal. 316)

Seperti biasa, tema cinta tak akan pernah lepas dari novel dengan genre apapun. Dalam novel Rindu, Tere Liye juga menghadirkan tokoh yang berhasil membuat saya jatuh cinta, sepasang pasutri sepuh dari Semarang. Mbah Kakung dan Mbah Putri Slamet. Diantara ribuan penumpang kapal Blitar Holland, merekalah pasangan paling sepuh. Sekaligus paling romantis.

“Pendengaranku memang sudah tidak bagus lagi, Nak. Juga mataku sudah rabun. Tubuh tua ini juga sudah bungkuk. Harus kuakui itu.  Tapi aku masih ingat kapan aku bertemu istriku. Kapan aku melamarnya. Kapan kami menikah. Tanggal lahir semua anak-anak kami. Waktu-waktu indah milik kami. Aku ingat itu semua.” (hal. 205)

Tere Liye seakan berpesan kepada pembaca—terutama kawula muda, bahwa contoh konkret cinta sejati adalah pasangan yang sudah berpuluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga. Bukan kawula muda yang bergaul bebas, tanpa komitmen, dan melanggar begitu banyak rambu-rambu agama atas nama cinta. Sayangnya, ada hal yang membuat dada sesak dalam perjalanan cinta mereka. Sesuatu yang kemudian menjadi salah satu pertanyaan besar dalam novel ini.

Tema cinta juga datang dari tokoh pemuda bernama Ambo Uleng. Si kelasi pendiam yang suka berdiam diri menatap jendela bundar di kabin. Meski Tere Liye baru membeberkan dibalik kemisteriusan Ambo Uleng di halaman 483, sebenarnya pembaca sudah bisa menebak apa yang sesungguhnya terjadi dengaan pemuda itu. “Aku hanya ingin meninggalkan semuanya, Kapten.” (hal. 33)

Ambo Uleng merupakan tokoh dengan karakter yang juga berhasil membuat saya jatuh hati. Banyak sifat baik Ambo Uleng yang bisa dijadikan teladan. Keinginannya belajar mengaji salah satunya, tidak masalah meski harus belajar dengan Anna, si gadis kecil yang pernah ia tolong dalam sebuah peristiwa besar di Surabaya. Kecerdasan dan kecakapan Ambo uleng menyertai beberapa adegan heroik di novel ini. Namun yang paling berkesan, lima dari empat pertanyaan besar di novel ini—yang datang dari seseorang yang selalu memberikan jawaban, justru lahir dari sosok Ambo Uleng. Pertanyaan yang bukan dari penjelasan lisan atau tulisan, tapi dengan perbuatan tangan. (hal. 540)

Tokoh terakhir dari tokoh-tokoh sentral dalam novel Rindu adalah Bonda Upe. Guru mengaji anak-anak di kapal Blitar Holland ini membuat saya jatuh simpati. Tere Liye menggambarkan suasana batin Bonda Upe dengan sempurna. Siapapun yang membaca, seolah dapat merasakan sesuatu yang terpendam di dada perempuan itu. Sesak, gelisah, pun saat-saat ia menemukan secercah cahaya yang membuatnya bisa memandang hidupnya dengan perasaan lapang. Menariknya, Bonda Upe adalah warga keturunan China dan Muslim. Sesuatu yang mungkin masih menjadi hal yang asing pada saat itu.

“Ma, kalau Bonda Upe itu orang China, kenapa dia Islam?”
“Koh Acan di Kampung Butung juga Islam, apanya yang aneh?” (hal.108)

Dalam perjalanannya ke Tanah Suci, Bonda Upe membawa pertanyaan besar. Berkitan dengan masa lalunya sebagai cabo. Ada pelajaraan penting yang bisa diambil dari kehidupan Bonda Upe. Salah satunya adalah nilai ketulusan seorang Enlai, suami Bonda Upe.

“Dia tulus menyemangatimu, tulus mencintaimu. Padahal, dia tahu persis kau seorang cabo. Sedikit sekali laki-laki yang bisa menyayangi seorang cabo. Tapi Enlai bisa, karena dia menerima kenyataan itu. Dia peluk erat sekali. Dia bahkan tidak menyerah meski kau telah menyerah. Dia bahkan tidak berhenti meski kau telah berhenti. (hal. 312-313)

Bukan hanya berisi tokoh-tokoh yang menarik. Novel Rindu, meski hanyalah potret perjalanan ke Tanah Suci di atas kapal uap milik Belanda, novel ini juga menyajikan beragam konflik yang tidak pernah terduga. Diantaranya tragedi penyerangan kapal oleh bajak laut dari Somalia, kapal yang terancam terkatung-katung di laut lepas, seseorang yang mencoba membunuh Daeng Andipati, serta kasus yang membuat Gurutta dipenjara di sel kapal Blitar Holland.

Tere Liye, dalam novel ini, sekaligus menyinggung beberapa isu, diantaranya seputar toleransi beragama. Dikisahkan dalam perjalanan dari Kolombo menuju Jeddah, para kelasi mengadakan perayaan Natal. Sebagaimana yang terjadi di masyarakat tentang polemik Natal bersama dan mengucapkan selamat Natal. Dalam sebuah dialog antara Daeng Andipati dengan Anna, Tere Liye menegaskan makna toleransi dari sudut pandang yang lain.

“…tanpa menghadiri acara itu, kita tetap menghormati mereka dengan baik, sama seperti Kapten Philips yang sangat menghormati agama kita. Pun tanpa harus mengucapkan selamat, kita tetap bisa saling menghargai. Tanpa perlu mencampur adukkan hal-hal yang sangat prinsipil di dalamnya.” (hal. 499)

Di bagian yang lain, Tere Liye juga mengkritisi tentang kisah-kisah takhayul serta beragam pemberitaan hoax yang berceceran di media-media. Di mana diantara kaum Muslimin menelan mentah-mentah berita seputar bayi lahir dengan Al-Quran kecil, bayi lahir bisa bicara, ada asma Allah di awan, dan lain-lain sehingga mereka lupa bahwa mukjizat paling besar ada di rumah mereka. Diletakkan di lemari, di meja, dibiarkan berdebu tanpa pernah dibaca. (hal. 394)

Keberagaman tema dalam novel Rindu diperkaya dengan sosok dua guru yang hebat dan kreatif. Bapak Mangoenkoesoemo dan Bapak Soerjaningrat, dua guru terbaik dari Surabaya. Saya—yang berprofesi sebagai guru, banyak mendapat inspirasi dari potongan-potongan dalam novel yang mengambarkan kegiataan belajar mengajar anak-anak di kapal Blitar Holland. Saya yakin, pembaca lain yang juga berprofesi guru, akan mendapat kesan serupa.

Saya sempat tertipu mengikuti alur cerita dalam novel ini. Atau mungkin saya yang terlalu berburu-buru mengambil kesimpulan. Adalah adegan di mana ada “sesuatu” yang selalu menguntit Gurutta saat melewati lorong-lorong kapal di malam hari. Tere Liye, meski dengan gaya bahasa simpel, berhasil menciptakan atmosfir “horor”. Berhubung saya tidak suka dengan cerita-cerita makhluk halus dan sebagainya, saya sempat sensi. Protes. Kenapa Tere Liye harus menuliskan adegan horor-horor begini? Setelah tiba di halamaan berikut-berikutnya, saya akhirnya bisa bernafas lega. Alhamdulillah, ekspektasi saya keliru.

Novel Rindu tidak hanya bercerita tentang perjalanan panjang ke Tanah Suci. Dengan beragam tragedi, konflik, dan serangkaian peristiwa yang menyertainya. Novel ini semakin berbobot dengan cuplikan sejarah di beberapa daerah yang dijadikan setting. Saya seolah-olah bisa merasakan suasana kota Surabaya zaman lampau, naik trem listriknya. Berjalan-jalan di kota Banten, menyaksikan orang-orang pribumi berbaur dengan orang Belanda. Termasuk merasakan suasana kota Kolombo, berkeliling menaiki kereta sapi.
Sesampai di akhir novel—tiba di bagian prolog, saya anggap sudah tidak ada kejutan dari Tere Liye. Ending beberapa tokoh nyaris bisa ditebak. Namun lagi-lagi saya terpeleset. Novel ini, meski sekilas tidak memiliki konflik yang berat, yang menuntut penyelesaian. Rupanya memiliki bagian yang membuat saya tersentak. Ibarat film, selalu menjadi berkesan jika memiliki twist. Dan twist itu ada di novel ke-20 Tere Liye ini.

Untuk sampul buku, saya hanya ingin komentar, “Tumben, untuk sampul novel Rindu Tere Liye tidak mengadakan survey.” Biasanya Tere Liye melibatkan pembaca dalam pemilihan sampul (meski tidak semua buku). Dan menurut saya, sampul novel Rindu sudah cukup mewakili isi novelnya—meski bagi saya tidak begitu istimewa. Yang saya suka dari sampul novel Rindu adalah pemilihan warnanya. Meski begitu, sampul karya EMTE ini harus saya akui, berhasil membuat orang penasaran menyelami isi bukunya. Oya, saat menulis resensi ini, saya mendapat info di fanpage Tere Liye, novel Rindu sudah naik cetak 4 kali (di bulan pertama terbit). Nampaknya, buku ini memang persembahan spesial Tere Liye. Karya yang dirindukan di penghujung tahun 2014.

Akhirnya, novel Rindu ini menjadi bacaan dengan ide yang baru dan segar. Tema perjalanan haji di zaman lampau akan menyisakan kesan tersendiri. Selain itu, pembaca nampaknya akan dibuat jatuh cinta dengan tokoh-tokoh di dalamnya. Dan yang tak kalah penting, ada sesuatu pemahaman baru yang terekam. Sesuatu yang hanya bisa dirasakan oleh hati kita.


Judul Buku: Rindu
Penulis: Tere Liye
Editor: Andriyanti
Penerbit: Republika Penerbit
Jumlah Halaman: 544 halaman
Tahun Terbit: Oktober 2014

Selasa, 02 Desember 2014

~* SEJARAH ACEH MERDEKA *~

DEMOKRASI ACEH MENGUBUR IDEOLOGI




 TAKENGON 
Satu lagi, buku politik yang ditulis putra Gayo Adam Mukhlis Arifin berjudul
 “Demokrasi Aceh, Mengubur Ideologi” telah diluncurkan dipenghujung tahun 2011. Buku yang melibatkan Editor Salman Yoga S, seorang penyair asal Gayo. diterbitkan oleh The Gayo Institute.

"Sebuah buku yang perlu dan patut dibaca,” demikian pendapat singkat Imam Prasodjo, sosiolog Universitas Indonesia (UI),yang tertera dibelakang buku ini.

Sementara pengamat politik Fachry Ali, ikut memberi komentar tentang Partai Aceh (PA), sebuah partai politik yang dominan di Aceh dewasa ini. Nilai informatifnya adalah penjelasan bagaimana proses dialog dikalangan kekuatan-kekuatan politik Aceh pasca Perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005, bagaimana interaksi antara kekuatan-kekuatan lokal-yang secara psikologis merasa telah keluar sebagai “pemenang”- dengan kekuatan Jakarta dan bagaimana, pada akhirnya, tokoh-tokoh PA itu “mengalah” dengan kekuatan-kekuatan nasional.


Deklarasi Aceh Merdeka

Tidak banyak yang tahu apabila konsep deklarasi Aceh Merdeka disusun di Buntul Kubu, sebuah perbukitan di tengah kota Takengon pada tahun 1976, dengan sebuah bangunan khas Belanda. Disamping itu, pada cover buku terdapat foto sejumlah tokoh pergerakan Aceh Merdeka (AM) berpose di Buntul Kubu, Mereka adalah Tgk Hasan Muhammad di Tiro, Zainal Abidin di Tiro, Mat Bin Tas, Hasanuddin dan Tgk Ilyas Leube.


Pada pertemuan itu totok-tokoh Aceh Merdeka membahas rencana deklasari gerakan Aceh Merdeka (AM) yang berujung pada pelaksanaan deklarasi di Gunung Halimun Pidie, 4 Desember 1976, atau sekitar 4 bulan setelah konsolidasi awal (pertama) di Takengon.


“Faktanya, konsep gerakan Aceh Merdeka digodok di Buntul Kubu. Dan saat itu hanya Tgk Hasan Muhammad di Tiro dan abangnya Zainal Abidin di Tiro hadir mewakili tokoh pergerakan AM dari Aceh pesisir, selebihnya adalah Urang Gayo Tgk Ilyas Leube dan kawan-kawan,” ujar Salman Yoga, editor buku tersebut, Sabtu (12/11).


Penulis buku tersebut, Adam Mukhlis Arifin yang saat pergerakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berada di bawah komando GAM wilayah Linge mengatakan, buku tersebut akan tiba di Takengon pada 18 Nopember 2011 yang lalu dan diluncurkan secara sederhana.


“Untuk edisi pertama dicetak 1000 eksemplar dan akan kita luncurkan” kata Adam Mukhlis, yang pada masa itu mamakai nama samaran Ali Gergel.

Adam Muchlis juga menangapai perdamaian Aceh, dan mengakui jajaran kombatan GAM Wilayah Linge mendukung sepenuhnya damai Aceh ini.

“Saya tegaskan bahwa kombatan GAM wilayah Linge sangat menghormati MoU Helsinki. Dan kami tunduk sepenuhnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945,” pungkasnya. 


Disadur dari:
[atjehpost.com]

Rabu, 14 Mei 2014

~* SALAH SATU JUDUL BUKU KARYA ASMA NADIA *~

~* CINTA TAK PERNAH MENARI *~


Cinta Tak Pernah Menari merupakan kumpulan cerpen remaja karya Asma Nadia yang dapet penghargaan di tahun 2005. Dan menurutku gak salah penghargaan sebagai Kumpulan Cerpen Remaja Terpuji jatuh ke buku ini. Buku ini harga murah isi meriah. Harganya cuma 20 ribu, kalo beli online malah cuma 17 ribu, tapi isinya rame, ada 10 cerpen dengan beragam tema yang asyik banget buat dibaca.

Biasanya cerpen remaja isinya cinta2an mulu, tapi yang ini gak cuma itu, lebih dalem lah pokoknya. Buat kalian yang lagi santai pengen baca sesuatu yang menghibur tapi gak bikin kening berkerut, coba deh baca buku ini, apalagi sambil ditemeni secangkir coklat hangat.. Hmmm, nikmat...

Penasaran ma isinya?? aku kasih tau dikit.. Ada kisah si Jhoni yang anak orang kaya, baik hati, supel, hobi banget nyeneng2in temen2nya. Tiba2 bisnis keluarga hancur, harta yang ada disita, tapi Jhoni gak mau orang di sekeliling mereka tau, termasuk temen2nya. Temen2 Jhoni yang terbiasa enak masih terus menerus merongrong Jhoni, dan Jhoni melakukan apa aja untuk tetep bisa nyeneng2in temen2nya, kayak nyewain mobil mewah buat jalan2, karena mobil mewah Jhobi yang biasanya dipake udah disita. Trus sampai sejauh mana Jhoni masih berlagak 'sok kaya'?? Baca sendiri di Jhoni The Boss.

Ada kisah anak keluarga pemulung yang pengen banget punya jendela di rumah kumuh mereka. Saking pinginnya, anak yang namanya Rara ini rela nabung dari hasil ngamen sehari2. Terwujud gak mimpinya?? Ada juga cerita cowok, namanya Adit yang cinta mati ma Indah. Saking cintanya, dia selalu berusaha menyenangkan hati kekasihnya ini, dan Indah juga memanfaatkan semua kebaikan Adit. Adit sampai seolah2 gak peduli ma dirinya sendiri, yang penting Indah bahagia. Kesadaran bahwa dia sudah banyak berubah dan cinta Indah begitu membelenggunya dengan cara2 yang gak sehat justru muncul di saat mereka berdua sudah memutuskan untuk menikah. So??? Terlambatkan kesadaran itu??

Asma Nadia juga bercerita tentang penulis yang mendapat hadiah sebesar 10 juta rupiah. Masyarakat sekitar menganggap keluarga penulis sudah cukup berada karena tinggal di rumah besar dan sempat menggelar pesta perkawinan yang mewah, jadi seharusnya uang tersebut dibagi2 saja. Mereka gak tau, bahwa keluarga penulis tersebut (aku kok lupa nama tokohnya ya), ternyata jauh lebih membutuhkan daripada yang mereka kira. Hmm... memang, kadang apa yang terlihat di mata bisa menipu kita.

Apa lagi ya, ada Bu Saiman yang dikejar2 tukang kredit, konyol deh. Trus persahabatan yang berakhir saat salah satu mereka pacaran dan akhirnya nyaris bunuh diri karena mo ngugurin kandungannya. Ada yang nyari ibu kandungnya, ada juga yang penasaran setengah mati ma temen masa kecilnya, pokoknya beragam kisah deh.

Sebenernya sih kisahnya cuma tentang kehidupan sehari2, tapi diceritakan dengan menarik dan gak bosenin. Salut deh buat Asma Nadia. Ayo buat kalian yang masih remaja, jangan ketinggalan baca buku ini. Kata Gola Gong, bisa mengasah nurani untuk mengasihi sesama. 
Buat yang udah gak remaja, ayo donk baca juga, biar bisa merasa kembali remaja.


^_^

Minggu, 04 Mei 2014

~* SALAH SATU BUKU TERE LIYE *~

~* MOGA BUNDA DISAYANG ALLAH *~
 

Tere Liye merupakan nama pena dari seorang novelis yang diambil dari bahasa india yang berarti “Untukmu”. Penulis yang satu ini memang berbeda dari kebanyakan penulis yang lainnya, karena Tere Liye tidak pernah memasang photo dirinya, dan memakai nama asli. Meskipun setiap karya yang di hasilkan laku di pasaran dan menjadi best seller, namun Tere Liye seperti menghindari dan menutupi kehidupannya.  

Saya bisa mengetahui nama penulis dari novel  “Moga Bunda Disayang Allah” pada halaman akhir, yang mencantumkan alamat e-mail sang penulis yaitu,
darwisdarwis@yahoo.com, dan saya hanya sedikit mengetahui profil dari sang penulis. Tere Liye lahir dan besar di pedalaman Sumatera, dia anak keenam dari tujuh bersaudara. Dia terlahir dari keluarga petani, Tere Liye menyelesaikan masa pendidikan dasar sampai SMP, di SDN2 dan SMN2 Kikim Timur, Sumatera Selatan, kemudian melanjutkan ke SMUN 9 Bandar Lmpung, setelah itu ia meneruskan ke Universitas Indonesia dan mengambil jurusan Ekonomi.

            Karya-karya  Tere Liye sangatlah menyentuh hati, bila kita membaca novelnya, kita akan merasakan haru dan bisa meneteskan air mata, seperti salah satu karya dari Tere Liye yang berjudul  Moga Bunda Disayang Allah, novel yang membuat saya lebih mengerti akan rasa syukur kepada Allah SWT, karena novel ini menceritakan tentang kekurangan seorang anak dan kesabaran seorang ibu yang mengasuh dan menyayangi anaknya.
 
 
            Novel ini bercerita tentang kehidupan anak kecil berusia 6 tahun yang bernama Melati, Melati memiliki wajah yang lucu dan menggemaskan, rambut ikalnya yang mengombak, pipinya tembam seperti donat, bola matanya hitam legam seperti biji buah leci, dan giginya kecil-kecil bak gigi kelinci. Melati adalah anak dari pengusaha kaya raya yang memiliki banyak pabrik, dari mulai pabrik makanan sampai pabrik pupuk organik.
 
 
            Saat Melati umur 3 tahun, dia diajak berlibur ke luar negeri dengan kedua orang tuanya, Ayah dan Bunda sangat menyayangi Melati. Saat mereka berlibur ke pantai, Melati bermain dan berlari kesana kemari, rambut ikalnya yang mengombak bergerak-gerak terkena angin pantai, dan saat itu juga semua masalah bermulai. Melati jatuh terkena piringan terbang dan mengenai keningnya, seketika melati terjatuh tengkurap pada tumpukan pasir pantai yang putih. Bunda tersontak kaget dan berteriak, tetapi Melati tak lama kemudian langsung berdiri dan tersenyum kepada bundanya. Perasaan Bundanya langsung lega dan bersyukur karena Melati tidak terkena luka. 
 
 
            Satu minggupun berlalu dengan bahagia, tetapi ada hal yang membuat Ayah dan Bundanya seperti tersambar petir ketika mendengar fonis dokter mengatakan Melati mengalami kebutaan, dan tidak hanya itu Melati juga tuli, dan lebih parahnya lagi, Melati kehilangan semua memory dan pengetahuanya, pastilah Melati juga akan bisu. Melati seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibunya yang belum mengenal dunia. Hal itu membuat kedua orang tuanya sangat tidak mengerti kenapa Allah setega itu kepada anaknya, dan hati siapa yang paling sakit juga terpukul yaitu hati Bunda, Bunda yang amat menyayangi anaknya, yang selalau membanggakan putri kecilnya itu. Semua terasa tak berarti, hanya sakit dan tersiksa yang dirasakan ayah dan bunda Melati, juga perasaan terpukul, tidak terima dengan takdir yang dibawa pulang ke Indonesia.
 
 
            Setiap hari Bunda hanya terdiam, merenung, bersedih, dan mempertanyakan kepada Allah. Kenapa hidup ini tidak adil, kenapa Allah menghukumnya seperti ini, rasanya tidak kuat dan berhenti tersenyum untuk hari-hari Bunda. Sampai 3 tahun berlalu, Melati sudah berusia 6 tahun, dan tidak ada perubahan. Setiap tidur Bunda selalu bermimpi indah tentang Melati, bermain bersama anaknya, dan melihat anaknya berlarian membawa boneka panda yang disayanginya, tetapi saat bangun tidur semua mimpi itu menjadi buruk karena Bunda melihat kenyataan bahwa putri kesayangannya tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, dan tidak bisa bicara. Bunda yang separuh baya itu membayangkan dulu, disaat dia dan suaminya Tuan HK selama 6 tahun pernikahanya belum dikaruniai seorang anak, tetapi 6 tahun itu juga Bunda hamil dan Melati hadir membawa kebahagiaan Bunda dan Tuan HK.
 
 
            Perasaan bahagia yang dulu tidak akan muncul lagi bila Bunda masih melihat Melati seperti itu, setiap pagi Melati ikut sarapan dengan Ayah dan Bunda, di meja makan besar itu setiap pagi terasa pedih. Melati hanya bisa mengacak-acak makanan dipiring dengan tangannya, Bunda selalu berkata “ makannya pelan-pelan sayang”, kalimat itu selalu diucapkan dengan tulus dan penuh kasih sayang. Rumah besar yang memiliki 9 pembantu, dan Salamah adalah pembantu yang paling lama bekerja dengan Bunda dan Tuan HK. Bagi Salamah keluarga ini terlalu baik  dan dia juga sudah berjanji tidak akan meninggalkan keluarga Tuan HK yang telah memberi pekerjaan kepada semua keluarganya mulai dari kakek, bapak, sampai dia sendiri.
 
 
            Disisi lain cerita tentang pria yang bernama Karang, Karang dulunya adalah seorang yang hebat, pintar, baik, dan dicintai banyak anak-anak. Dia anak yatim piatu lalu diangkat oleh ibu-ibu berbadan gemuk yang sangat menyayangi Karang, tetapi disaat yang bersamaan dengan nasib Melati, Karang mengalami perubahan yang sangat tidak baik, dia menjadi orang pemalas yang hobinya mabuk-mabukkan, suka mengurung diri dikamar, dan hal itu membuat ibunya sedih dan susah. Karang menjadi seperti itu karena masalah 3 tahun yang lalu saat Karang mengajak anak-anak didiknya yang belajar di Taman Bacaan yang dimiliki Karang berlibur ke pantai, lalu bencana terjadi, ombak pantai meluap dan membuat kapal yang tidak terlalu besar yang ditumpangi Karang dan anak didiknya terbalik, semua mengapung berteriak, Karang memegang erat dua anak didiknya, tetapi yang lain terombang ambing, dan takdirpun berkata lain, 18 anak didik Karang mati membeku, kedinginan.Termasuk Qintan murid yang paling disayang Karang juga meninggal. Hanya dua teman Karang dan Karang sendiri yang selamat.
 
 
            Dari kejadian itu Karang dituntut dan akan dipenjarakan karena dituduh membunuh anak banyak orang, tetapi fakta kebenaran yang menjadikan Karang lolos dari hukuman itu, meskipun Karang lolos dan tidak dipenjara, dia tetap merasa bersalah dan tidak terima dengan takdir. Dia menyayangi anak-anak, tetapi dia juga membunuh anak-anak. Itu yang selalu dirasakan oleh Karang. Hal itulah yang membuat Karang menjadi pemurung dan pemabuk., tetapi  karena Kinasih gadis berwajah cantik dan berkerudung yang juga teman Karang ingin membantu keluarga Tuan HK, maka Kinasih memeritahu kepada Bunda HK untuk mengundang Karang kerumahnya yang bertujuan untuk membantu menyembuhkan Melati. Waktu awal Karang tidak mau, tetapi karena Bunda HK bisa meluluhkan hati Karang yang sangat keras itu. Maka Karang memutuskan untuk mau membantu Melati.
 
 
            Pagi hari disaat keluarga Tuan HK sedang sarapan, Karang datang untuk menepati janjinya, setelah Karang ikut sarapan dan melihat Melati sarapan dengan berdiri dan mengacak-acak makanannya, dan tiba-tiba Karang menyenyak Melati “ makannya pakai sendok” sambil menarik tangannya, dan itu membuat seluruh anggota keluarga Tuan HK terpaku, selama ini Melati tidak pernah dibentak ataupun dipegang tangannya, karena Melati akan marah dan mengamuk kalau tangannya tersentuh. Tuan HK langsung mengusir Karang peri dari rumahnya. Karang berkata” suatu saat anda akan membutuhkan saya”, dan dia pergi meninggalkan rumah mewah itu. Satu minggupun berlalu, dan Bunda HK ingin menyuruh Karang kerumahnya lagi, tetapi Tuan HK idakn setuju, karena Karang orang yang kasar.
 
 
            Setelah itu Tuan HK setuju dengan permintaan istrinya, lalu Karang tinggal dirumah mewah Tuan HK untuk membantu menyembuhkan Melati, sebenarnya sudah banyak dokter dari luar negeri yang disuruh menyembuhkan Melati, tetapi tidak ada yang berhasil. Bunda sangat berharap kepada Karang, dan hari-hari dimulai dengan rasa sakit karena Karang selalu memarahi Melati dan mengajarinya dengan kasar hanya karena Melati harus makan memakai sendok, kemudian hari Karang ketahuan sering minum-minuman keras, dan Tuan HK sangat benci dengan pemabuk. Lalu Tuan HK mengusir Karang, tetapi Bunda tidak mengijinkan, kali ini Tuan HK benar-benar tidak bisa menuruti kemauan istrinya. Tuan HK juga akan pergi ke luar negeri untuk berbisnis, sebelum dia pergi Karang harus pergi dari rumahnya, dan Bunda tidak bisa membantah lagi. Lalu Karangpun marah tetapi dia juga tidak bisa menolak permintaan Bunda. Saat Karang akan pergi ternyata, Bunda memanggil dia, dan Karangpun bergegas menghampiri, dan ternyata dalam seminggu Karang berhasil membuat Melati makan menggunakan sendok.
 
 
  Bunda, Karang, dan Salamah menangis melihatnya, tetapi kasian juga Melati karena Karang memakai cara yang kasar, sampai Melati sakit empat hari karena dihukum tidak makan, demi dia mengerti untuk makan pakai sendok. Dan seminggu juga Karang bisa membuat Melati duduk dikursi plastik, dan itu juga memakai cara kasar, dan Melati harus dihukum tidak makan selama dua hari. Hari-haripun berlalu dengan tidak ada perkembangan dari Melati, Mealti hanya bisa makan pakai sendok, dan duduk dikursi. Hanya itu yang bisa dilakukan Melati, Karang bingung memikirkan cara agar Melati bisa lebih tau pengetahuan lainnya, sebelum hari pulangnya Tuan HK, Karang bingung memikirkan cara, caranya apa untuk Melati. Ternyata hari ke-21 pun tiba, tiba saatnya Tuan HK pulang dari  luar negeri , dan cara itupun belum juga ditemukan. Karang tidak tau lagi apa yang harus dia perbuat.
 
 
Hari terakhir sebelum Karang diusir oleh Tuan HK, dia masih ikut sarapan pagi di meja makan besar rumah mewah itu, tetapi tiba-tiba Tuan HK pulang dan  karang terkejut, karena seharusnya Tuan HK pulang nanti sore, dan Tuan HK lebih terkejut lagi karena dia melihat Karang ada dirumahnya, yang seharusnya sudah di usir 21 hari yang lalu. Tuan HK marah kepada istrinya, karena istrinya sudah berbohong, dan Karangpun langsung dihajar oleh Tuan HK, waktu keramaian, tidak ada yang memperhatikan Melati, tiba-tiba Melati hilang dari keramaian itu, Melati berjalan sendiri menuju taman belakang rumah. Tersontak kaget Bunda langsung berteriak mencari Melati, lalu Bunda menemukan Melati sedang bermain air di pancuran tamana milik mereka, dan melihat Melati asik merasakan tetesan air hujan, di pagi itu hujan membasuh kota.
 
 
Karang langsung mengerti dan menemukan cara, inilah caranya, lalu Karang langsung berlari mendekati Melati dengan Bunda, Karang menangis melihat Melati tersenyum merasakan tetesan air hujan. Tuan HK tak mengerti sebenarnya apa yang terjadi, begitu juga dengan Bunda, Salamah, Tukang kebun, juga Sembilan pembantu yang ada dirumah mewah itu. Karang langsung menarik tangan Melati dan menuliskan hurf di telapak tangan Melati yang bertuliskan “air” lalu Karang mendekatkan telapak tanganMelati ke multnya, dan berkata lagi ”air”, lalu Melati tersenyum. Semua anggota Keluarga itu menangis melihat keajaiban Tuhan yang telah mampir di keluarga itu.
 
 
Pada novel Moga Bunda Disayang Allah ini memiliki cerita yang berbeda dari novel yang lain, karena novel Moga Bunda Disayang Allah memiliki cerita yang sangat mengharukan dan membuat pembacanya selalu meneteskan air mata, karena setiap pembicaraan dan perkataan di novel ini memiliki arti dan makna yang sangat baik. Novel Moga Bunda Disayang Allah juga mengajarkan kita tentang arti bersyukur kepada Tuhan, karena Tuhan itu selalu adil.

Kelebihan Novel:

Cerita pada novel Moga Bunda Disayang Allah ini benar-benar membuat kita terharu, dan mengerti tentang rasa syukur pada Tuhan, dan mengerti bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekuranganya, karena Tuahn itu Maha adil.

Kekurangan Novel:

Penceritaan novel Moga Bunda Disayang Allah ini agak bertele-tele, yang menceritakan suasana kota begitu detail, dan kertas yang digunakan belum bagus.

Kesimpulan:

Novel Moga Bunda Disayang Allah ini sangat cocok dibaca, karena novel ini memiliki kisah yang penuh makna, dan kita dapat belajar dari kekurangan yang kita miliki, agar kita selalu bersyukur kepada Allah SWT.
 
 
* BIOGRAFI PENULIS*
 
Siapa yang sudah pernah membaca karya Tere Liye?
 
Bagi sahabat yang sudah pernah sekali atau mungkin beberapa kali mambaca dari karya Tere Liye pasti akan memberikan komentar yang sama dengan saya “Bagus Banget” hehe. Nama “Tere Liye” merupakan nama pena seorang penulis berbakat tanah air. Tere Liye sendiri di ambil dari bahasa India dan memiliki arti untukmu
Meskipun Tere Liye bisa di anggap salah satu penulis yang telah banyak menelurkan karya-karya best seller. Tapi kalau anda mencari biodata atau biografi Tere Liye, kita akan menemukan sedikit bahkan hampir tidak ada informasi mengenai kehidupannya serta keluarganya. Atau Anda juga bisa mencoba sendiri dengan mengecek karya Tere Liye dan lihat di bagian belakang “tentang penulis’ di novelnya, maka tidak ada yang bisa kita temukan informasi mengenai tere liye. 
Berbeda dari penulis-penulis yang lain, Tere Liye memang sepertinya tidak ingin di publikasikan ke umum terkait kehidupan pribadinya. Mungkin itu cara yang ia pilih, hanya berusaha memberikan karya terbaik dengan tulus dan sederhana. Namun begitu, dalam postingan kali ini saya akan coba sedikit berbagi terkait biografi Tere Liye. Semoga bisa menjadi referensi tambahan bagi rekan-rekan yang sedang mencari informasinya. 


Tere Liye lahir dan tumbuh dewasa di pedalaman Sumatera. Ia lahir pada tanggal 21 mei 1979. Tere Liye menikah dengan Ny.Riski Amelia dan di karunia seorang putra bernama Abdullah Pasai.
Seperti di sebutkan di atas, Tere Liye tumbuh di Sumatera Pedalaman. Ia berasal dari keluarga sederhana yang orang tuanya berprofesi sebagai petani biasa. Anak ke enam dari tujuh bersaudara ini sampai saat ini telah menghasilkan 14 karya. Bahkan beberapa di antaranya telah di angkat ke layar lebar. Berdasarkan email yang di jadikan sarana komunikasi dengan para penggemarnya yaitu darwisdarwis@yahoo.com. Bisa di simpulkan sederhana bahwa namanya adalah Darwis.

Biografi Tere Liye: Masa Pendidikan 

Tere Liye meyelesaikan masa pendidikan dasar sampai SMP di SDN2 dan SMN 2 Kikim Timur, Sumatera Selatan. Kemudian melanjutkan ke SMUN 9 bandar lampung. Setelah selesai di Bandar lampung, ia meneruskan ke Universitas Indonesia dengan mengambil fakultas Ekonomi.

Biografi Tere Liye : Karya-Karya Tere Liye

Berikut saya tulis karya Tere Liye, semoga bisa menjadi bahan referensi :
Ø  Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (Gramedia Pustaka Umum,2010)
Ø  Pukat (Penerbit Republika, 2010)
Ø  Burlian (Penerbit Republika, 2009)
Ø  Hafalan Shalat Delisa (Penerbit Republika, 2005)
Ø  Moga Bunda Disayang Alloh (Penerbit Republika, 2005)
Ø  The Gogons Series : James & Incridible Incodents (Gramedia Pustaka Umum, 2006)
Ø  Bidadari – Bidadari Surga (Penerbit Republika, 2008)
Ø  Sang Penandai (Penerbit Serambi, 2007)
Ø  Rembulan Tenggelam di Wajahmu (Grafindo 2006 & Republika 2009)
Ø  Mimpi-Mimpi Si Patah Hati (Penerbit AddPrint, 2005)
Ø  Cintaku Antara Jakarta dan Kualal Lumpur (Penerbit AddPrint, 2006)
Ø  Senja Bersama Rosie (Penerbit Grafindo, 2008)
Ø  Eliana, Serial Anak-Anak Mamak 
Penulis yang satu ini memang berbeda dari kebanyakan penulis yang sudah ada. Biasanya setiap penulis akan memasang poto, nomor kontak yang bisa di hubungi atau riwayat hidup singkat di bagian belakang setiap karyanya. 
Meskipun setiap karya yang di hasilkan laku di pasaran dan menjadi best seller. Namun Tere Liye seperti menghindari dan menutupi kehidupannya. Kalau penulis yang lain biasanya banyak menerima panggilan acara baik itu berupa seminar tentang tips-tips menulis, bedah buku, workshop atau kegiatan yang lainnya terkait dunia tulis menulis. Tapi tidak dengan Tere Liye. 

Biografi Tere Liye: Kehidupan dan Kesederhanaan 

Dari karya-karyanya Tere Liye ingin membagi pemahaman bahwa sebetulnya hidup ini tidaklah rumit seperti yang sering terpikir oleh kabanyakan orang. Hidup adalah anugerah yang Kuasa dan karena anugerah berarti harus di syukuri. 
 “bekerja keras dan selalu merasa cukup, mencintai, berbuat baik dan selalu berbagi, senantiasa bersyukur serta berterima kasih, maka Ia percaya bahwa kebahagiaan itu sudah berada di genggaman kita”.
Itulah sedikit kutipan yang penulis dapatkan, terkesan bahwa ia menegaskan syukuri saja setiap apapun yang kita punya, baik itu berupa kekurangan terlebih kalau itu suatu kelebihan. Satu lagi pelajaran berharga yang bisa kita petik dan di aplikasikan dalam kehidupan masing-masing dari biografi Tere Liye ini. 
Sungguh sangat istimewa, bahwa di negeri kita tercinta ini lahir banyak penulis berkualitas. Serta dengan karya-karyanya tersebut telah membuat negeri ini di kenal luas. Terlebih lagi Tere Liye berasal dari pedalaman Sumatera Selatan. Menjadikan nilai tambah sebagai nilai positif untuk terus meneladani kepiawaiannya di dunia tulis menulis.

Bagi Anda yang sudah pernah menikmati karya Tere Liye pasti akan memberikan respon positif. Karya Tere Liye biasanya mengetengahkan seputar pengetahuan, moral dan agama islam. Penyampaian nya yang unik serta sederhana menjadi nilai tambah bagi tiap novelnya. 
Justru karena kesederhanaannya, tiap kita membaca lembaran demi lembaran novelnya, kita serasa melihat di depan mata apa yang Tere Liye sedang sampaikan. Uniknya kita tidak akan merasa sedang di gurui meskipun dari tulisan-tulisannya itu tersimpan pesan moral, islam serta sosial yang penting.  
Kesederhanaan lah yang mampu membuka hati, dan kalau hati kita sudah terbuka maka akan sangat mudah setiap pesan-pesan positif itu sampai. Melalui biogarfi Tere Liye yang amat singkat ini, saya ingin berbagi, mari kita nikmati tiap lembaran karya Tere Liye dan ambil tiap nilai positif yang ada di dalamnya. 
Biografi Tere Liye : Kontak
Terakhir, melalui tulisan biogarfi Tere Liye ini, serta bagi rekan-rekan yang ingin bersilaturahim dengan Tere Liye, silahkan langsung kirim e-mail ke darwisdarwis@yahoo.com atau maibelapoh@yahoo.com dan www.darwisdarwis.multiply.com. Sampai saat ini, melalui e-mail lah cara terbaik untuk dapat berinteraksi dengannya. Semoga membantu.



Daris Tere Liye bersama anak dan isteri.