~* HASIL KARYA PUTRA KOTA DINGIN TAKENGON *~
FILM ACEH : Puisi Tak Terkuburkan
Sutradara : Garin Nugroho
Tema : Kisah Hidup Seniman Gayo
Artis : Ibrahim Kadir
Lokasi Shooting : Depok, Jawa Barat
Sinopsis :
Ibrahim Kadir |
Film “Puisi Tak Terkuburkan” di produksi 1999, merupakan salah satu karya terbaik Garin Nugroho yang berhasil memenangkan beberapa hadiah internasional. Antara lain “aktor terbaik” dalam festival film di Singapura. Ini adalah satu-satunya film Garin yang menggondol hadiah prestisius tersebut. Film ini diputar perdana di Belanda yang dihadiri Ibrahim Kadir.
TENTANG IBRAHIM KADIR
Pernah dipenjara karena kesalahpahaman, seniman ini ingin menghabiskan hidupnya untuk kesenian Gayo.
KENANGAN-kenangan
itu tersusun rapi dalam sebuah bingkai ukuran jumbo. Isinya sebagian
besar kliping koran yang mengulas tentang dirinya dalam film Puisi Tak Terkuburkan.
Ada pula gambar Garin Nugroho, sutradara film itu, serta aneka piagam
penghargaan festival film dari luar negeri. Bingkai itu terpajang di
dinding ruang tamu. Dua bingkai poster film Tjoet Nja’ Dhien menghiasi dinding lain.
Ibrahim Kadir ikut bermain dalam dua film itu. Dalam film Puisi Tak Terkuburkan,
dia berperan sebagai tokoh utama. Film ini berkisah tentang pengalaman
hidupnya sewaktu hidup dalam penjara pada 1965. Sedang dalam film TjoetNja’ Dhien garapan
Eros Djarot, dia berperan sebagai Penyair, bermain bersama aktris
Christine Hakim. Ibrahim masih tetap memelihara komunikasi dengan Garin
dan Eros. Ketika dia ke Jakarta, Januari 2008 lalu, dia menyempatkan
diri datang rumah Eros. Eros pula yang membangun rumahnya di kampung
Kemili, Takengon, Aceh Tengah.
“Sudah
seperti keluarga. Kalau Garin nggak ketemu. Dia sedang di Jerman. Dia
bilang akan membuat film lagi tentang Aceh dan mengajak saya lagi.
Entah, kapan itu,” katanya.
Bermain film
adalah pengalaman lain Ibrahim selain mengajar tari, teater dan
mengarang puisi. Saat senggang dia memutar ulang film Puisi Tak Terkuburkan bersama
cucu-cucunya. Film ini juga kerap ditonton tetangga atau pejabat di
Takengon. Ibarat sebuah album foto, dia berharap orang-orang mengingat
kembali penggalan-penggalan masa lalunya.
“Saya hanya
punya satu kasetnya. Takut kalau sering diputar jadi rusak. Saya mau
minta tolong Garin kirim seribu buah dalam bentuk kepingan CD,” katanya.
Usianya
sudah 66 tahun. Satu persatu giginya mulai tanggal. Badan yang dulu
tegap tak tampak lagi. Kulit tubuhnya pun sudah menggelambir di
sana-sini. Hanya satu yang tak berubah, suaranya tetap meledak-ledak.
Kadang, saya mendengar gaya bertutur dia seperti sedang berpuisi.
Suatu sore di awal Februari 2008 itu, rumah sedang sepi. Ibrahim pamit
sebentar. Suara azan zuhur memanggilnya datang sembahyang ke masjid di
samping rumah.
AWAL Oktober 1965. Di kota Takengon, Aceh Tengah, lelaki dan perempuan menyesaki sel penjara yang dingin dan pengap. Tiap sel dipisah dinding dari papan. Wajah-wajah tahanan terlihat tegang dan penuh cemas. Malam itu, tahanan baru bernomor urut 25 baru saja masuk. Tubuhnya gemuk dan mengenakan sandal jepit. Lelaki itu…bernama Ibrahim Kadir. Ibrahim menghuni sel nomor tujuh. Orang-orang di sel itu menatap dingin kedatangannya. Sambil membalut tubuhnya dengan kain sarung, Ibrahim menghempaskan diri di pojok sel.
Udara malam yang dingin di luar sana telah menyusup ke celah-celah dinding penjara. Ibrahim mencoba membaringkan tubuhnya di atas tikar pandan. Matanya sungguh sulit terpejam. Dia masih tidak mengerti mengapa dirinya harus ada dalam ruang penjara yang pengap itu. Lalu dia duduk lagi, termenung. Siang tadi belasan tentara mengambil dirinya ketika mengajar kesenian di sekolah dasar. Kejadiannya cepat sekali. Apalagi, dia belum sempat pamit kepada istrinya, yang kebetulan sedang mengajar di kelas lain di sekolah itu. Sepanjang perjalanan dia tidak berani bertanya. Rasa ingin tahunya tiba-tiba membuncah. Kebetulan dikamar itu, dia bertemu seseorang. Dia mengenalnya. Lelaki itu, atasannya di dinas pendidikan Aceh Tengah.
“Saya ini dibawa kemari. Ndak ditanya. Apa ini?”
“Saya pun tak tahu. Saya juga langsung dibawa kemari. Nantilah kita tahu, kalau ditanya,” jawab lelaki itu.
“Saya pun tak tahu. Saya juga langsung dibawa kemari. Nantilah kita tahu, kalau ditanya,” jawab lelaki itu.
Sel nomor tujuh itu makin lama makin sesak oleh penghuni baru.
Ada yang tidur dibawah kaki dengan alas tikar pandan, ada yang
berimpitan di atas dipan. Lamat-lamat telinga Ibrahim menangkap suara
bisik-bisik antar mereka.
“PKI di Jakarta memberontak. Jenderal-jenderal dibunuh.”
Dari cerita
orang-orang di penjara, Ibrahim mendengar setelah pemberontakan PKI
(Partai Komunis Indonesia) gagal, militer melakukan ‘pembersihan’
terhadap anggota-anggota partai itu, salah satunya di Aceh Tengah.
Ibrahim mengira semua yang berada di penjara itu adalah anggota PKI. Dia
ingat ketika partai itu memberikan bantuan alat bertani berupa cangkul
di kampungnya. Tapi dia bukan anggota PKI. Dia tidak menerima bantuan
itu. Dia mendengar kabar para penerima bantuan itu ikut pula ditangkap.
Memasuki
hari ke-10, penghuni penjara mulai berkurang. Ibrahim paham bagaimana
hidup mereka berakhir. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri saat
menuruti perintah tentara-tentara itu mengikat dan membungkus tubuh para
tahanan dengan karung goni. Tapi, dia tidak berdaya di tengah todongan
senapan tentara-tentara itu. Malam itu, seorang tentara sigap memberi
perintah. Para tahanan yang diangkut dengan truk kemudian dibagi.
“Empat pertama di tikungan pertama. Empat berikutnya di tikungan berikutnya…”
Di sebuah bukit sudah bersiap puluhan lelaki yang menjadi algojo. Tangan mereka menggenggam tombak dan parang.
Dia menyaksikan tubuh-tubuh itu dibantai dari jarak 15 meter.
Tentara-tentara itu, anehnya hanya berdiri menonton. Ibrahim terhenyak.
Dia tidak tahan melihat tubuh-tubuh itu menggelepar di tanah. Dia merasa
gilirannya sudah tiba.
“Sudah... Kamu masuk ke truk. Giliran kamu besok...!” seru tentara itu kepadanya.
Seketika
tubuh Ibrahim menjadi lemas. Sepanjang perjalanan kembali ke penjara,
dia membisu. Dia merasakan maut kian dekat. Malam ke-14, truk-truk
tentara datang lagi ke penjara. Para tahanan yang dianggap anggota PKI
kembali akan dieksekusi. Seorang petugas penjara memanggil
tahanan sesuai nomor urut. Si pemilik nomor bergegas keluar sel penjara.
“Nomor satu, dua, tiga…dua puluh empat… dua puluh enam…”
Ternyata
setelah memanggil nomor 24, petugas itu langsung lompat menyebut nomor
26. Ibrahim tidak mendapatkan giliran yang dijanjikan itu. Hidupnya
seperti tengah dipermainkan. Dia protes kepada petugas itu.
“Nomor dua puluh lima tidak ada!” Petugas itu menjawab dengan nada tinggi.
Malam
ke-16… malam ke-18… malam ke-20…hingga malam ke-22, nama Ibrahim tak
dipanggil juga. Temannya dalam sel nomor tujuh yang awalnya sangat sesak
kini berkurang. Lama-lama Ibrahim tidak tahan lagi. Pikirnya,
pembunuhan toh akan datang juga. Dia sudah memutuskan tidak mau lagi
ikut pergi ke tempat eksekusi. Dia tidak sanggup lagi menunggu datangnya
kematian itu. Tekadnya sudah bulat, ingin ditembak di penjara saat itu
juga.
Sepanjang
malam ke-22 itu Ibrahim tidak bisa tidur. Tubuhnya gemetar. Dia
kemudian membuka sobekan-sobekan kertas rokok berisi sajak-sajak yang
ditulisnya dalam bahasa Gayo. Sajak itu diperuntukkan kepada ibunya
sebagai ungkapan perasaan jika kematian menjemputnya. Terbayang pula
wajah istrinya, Rasuna dan Adrian, anak lelakinya yang masih bayi.
Ibrahim
melangkah membuka daun jendela selnya. Seketika udara dingin menyeruak
masuk. Kedua tangannya menggenggam erat jeruji-jerujinya. Dia
menanggalkan baju seperti menantang tentara-tentara itu menembak
langsung ke dadanya. Tiba-tiba dia menjerit keras. Suaranya bergaung
ke sudut-sudut penjara.
“Mamak…
Batang mempelam tergayut angin
Batang tubuhku sekarang terguncang
Berat telah berkurang ibarat daun layu
Bunga di tanganku terampas hantu
Tak melintas lagi kepak burung di atas atap yang tiris
Tak singgah lagi lalat di lantai yang rata
Tiada lagi bisik burung di ujung tangga
Sebatangkara menimbang bimbang
Mamak…
Bukit hijau itu kadang terbayang
Remuk pundakku mengemban beban
Di punggung kayu basah tersiram hujan
Tempatku bercermin terbayang senyampan
Ranggaskah sudah rumput halaman
Layukah sudah pucuk yang terinjak
Luruhkan sudah putik bunga telaga
Nestapa jasad terombang-ambing gelombang...”
Ibrahim
berharap ratapannya itu akan mengundang kemarahan seisi penjara,
terutama sipir. Semoga itu berujung pada perintah penembakan dirinya,
saat itu juga. Jika sudah mati, keluarganya bisa melihat dan membawa
jasadnya pulang. Dia tidak mau hidupnya berakhir seperti tahanan-tahanan
itu, yang jasadnya terguling lalu lenyap di balik bukit.
Ibrahim lalu membusung dadanya sambil bersuara keras.
“Oiii…tentaraa…tembaaak nih dadaku!”
Tapi…
kemarahan yang diharap itu tidak datang. Selama Ibrahim meneriakkan
ratapannya, tidak ada yang marah atau protes karena terganggu. Malah
setelah dia selesai, penghuni sel terbawa oleh perasaan haru, lalu
mereka menangis. Paginya, ternyata ratapan Ibrahim itu diperdengarkan
dalam sebuah gedung kesenian dekat lingkungan penjara. Acara itu
dihadiri orang-orang Takengon, aktivis partai, dan petinggi militer dari
Banda Aceh. Mereka larut mendengar suara Ibrahim. Seorang
aktivis Partai Nasional Indonesia bertanya kepada panitia kegiatan itu.
“Suara siapa ini?”
“Ibrahim Kadir.”
“Di mana dia?”
“Di dalam.”
Dia lalu menujuk bangunan penjara. Aktivis partai itu terperanjat.
“Mengapa... Apa salahnya?”
Aktivis
itu makin kaget mendengar Ibrahim ditahan karena dianggap anggota PKI.
Dia protes kepada sipir penjara. Suaranya yang keras membuat suasana
gedung jadi ricuh.
“Dia kan anggota kami! Dia PNI (Partai Nasional Indonesia)! Jangan sembarangan (menahan)!”
Hari
itu juga, Ibrahim dikeluarkan dari penjara. Dia dibawa ke kantor
distrik militer Aceh Tengah. Di sana sudah menunggu para tentara, jaksa,
dan bupati Aceh Tengah. Dia diberitahu tidak terlibat sebagai anggota
PKI. Jaksa berdalih nama ‘Ibrahim’ yang dilaporkan anggota PKI
adalah ‘Ibrahim’ yang lain.
Namun, Ibrahim tidak terima alasan jaksa. Dengan wajah penuh rasa amarah, dia hendak memukul seorang tentara sembari berteriak.
“Pantengong…!!!”
Ibrahim meneriaki mereka “bodoh”. Seorang tentara lain datang melerai dan memegang tubuhnya di kursi. Ibrahim masih berteriak.
“Sudah
22 hari aku ditahan tanpa tahu apa kesalahanku. Sekarang aku dinyatakan
bebas. Apa-apaan ini! Mengapa mesti salah menangkap! Sekarang aku sudah
lihat perbuatan kalian, membantai orang-orang itu. Tidak! Aku tidak mau
bebas! Aku mau tetap dalam penjara itu!”
Jaksa itu mencoba membujuk Ibrahim.
“Kalau Bapak tidak ditangkap saat itu, mungkin Bapak akan dibunuh massa yang menyangka Bapak (anggota) PKI.”
Dia akhirnya luluh. Sebulan kemudian, dia kembali mengajar kesenian di sekolah.
“Kita
dilahirkan ke dunia mendapat tugas dengan berbagai kesalahan. Kesalahan
setiap manusia tidak dapat dilenyapkan dengan kematian. Sebelum kamu
kenali sesuatu, jangan kamu sentuh. Manusia masih bisa berubah,” ujar Ibrahim kepada saya, sambil menghisap rokok di teras rumahnya yang dingin.
--------------
PADA
1988, Eros Djarot datang ke Aceh untuk membuat film kepahlawanan
pejuang wanita asal Aceh, Tjoet Nja’ Dhien. Nama pejuang ini kemudian
digunakan sebagai judul film itu. Eros bersama kru film dari
Jakarta menginap di sebuah hotel di kota Sigli, Pidie. Di situ antara
lain, ada aktris Christine Hakim yang akan menjadi pemeran tokoh Tjoet
Nja’ Dhien, Slamet Rahardjo Djarot, Pietra Jaya Burnama, dan Rita
Zaharah. Selama berada di Aceh, Eros juga mencari orang-orang lokal
yang akan memerankan beberapa tokoh dalam filmnya, salah satunya peran
seorang penyair.
Suatu
hari, mata Eros terantuk pada seorang lelaki yang tengah membaca
puisi. Gerak tubuhnya begitu ekspresif, kelihatan menghayati selama
membaca puisi. Lelaki itu Ibrahim Kadir.
“Mau ikut main film,” kata Eros
mengajak lelaki itu.
“Sebagai apa?”
“Penyair. Besok datang ke hotel untuk casting.”
Ibrahim
tidak percaya akan diajak bermain film. Selama ini dia hanya bisa
membuat puisi, bersyair, mengajar tari, dan sesekali bermain teater.
Tapi, apakah bisa main film? Ah, dia ragu.
Setelah
pulang ke rumah, Ibrahim hampir melupakan ajakan Eros tadi. Rupanya
dia mendapat telepon diminta datang ke hotel untuk casting atau uji
peran. Saat itu juga, Ibrahim berangkat tanpa banyak bekal. Istrinya
hanya memberi uang sekadar ongkos angkutan. Di perjalanan Ibrahim tidak
yakin apakah diterima, sebab kata Eros ada beberapa orang yang akan
diuji untuk peran Penyair. Sampai hotel, dia melihat orang-orang sudah
keluar ruangan. Tampaknya, proses casting hampir selesai. Tapi, Eros
sedang menunggunya. Dia meminta Ibrahim memperagakan karakter Penyair
seperti tertulis dalam skenario film Tjoet Nja’ Dhien. Tak lama,
peragaan itu selesai.
Saat
itu Ibrahim tidak diberitahu apakah diterima sebagai pemeran Penyair.
Sampai sehari kemudian, dia diundang kru film menghadiri jamuan pesta di
rumah dinas gubernur di Banda Aceh. Di sana, Eros akan
mengumumkan nama-nama pemeran film Tjoet Nja’ Dhien. Ibrahim tidak
terlalu hirau dengan acara itu. Dia memilih duduk lesehan sambil asyik
merokok di halaman pendopo. Tiba-tiba seseorang keluar memanggil-manggil
namanya.
“Mana yang namanya Ibrahim.”
“Ya, saya yang namanya Ibrahim.”
“Bapak disuruh masuk.”
Ibrahim
bergegas bergabung ke dalam pendopo. Semua orang yang hadir menoleh
kepadanya sembari menyungging senyum. Ibrahim malah bingung.
“Ada apa saya disuruh masuk,” katanya dengan polos.
“Bapak terpilih sebagai pemeran Penyair!”
Tokoh
penyair sering muncul di bagian akhir film itu. Dengan nyanyian daerah
dan syair-syair perjuangan Aceh, si penyair memompa semangat juang
pasukan Tjoet Nja’ Dhien sepulang mereka dari medan perang.
IBRAHIM
berkenalan dengan sutradara Garin Nugroho pada 1999 atau sebelas tahun
setelah film Tjut Nja’ Dhien beredar di bioskop. Garin juga tertarik
membuat film dengan tema Aceh, meski tidak tahu temanya soal apa. Awal
perkenalan itu, ketika anak buah Garin mengajak Ibrahim melihat syuting
film dokumenter Anak Seribu Pulau di danau Laut Tawar, Takengon.
Di sela-sela istirahat syuting, Ibrahim diminta mendendangkan lagu-lagu Gayo, termasuk syair Ratap yang dibuat ketika dia ditahan dalam penjara. Liriknya sungguh menyayat hati. Diam-diam seorang kru merekam Ibrahim dengan kamera video.
Di sela-sela istirahat syuting, Ibrahim diminta mendendangkan lagu-lagu Gayo, termasuk syair Ratap yang dibuat ketika dia ditahan dalam penjara. Liriknya sungguh menyayat hati. Diam-diam seorang kru merekam Ibrahim dengan kamera video.
“Mereka menangis setelah mendengar syair itu,” kisah Ibrahim.
Rupanya
Garin tertarik mencari tahu kehidupan Ibrahim setelah menonton kaset
rekaman itu. Dia melakukan riset mengenai seni didong dan membaca
puisi-puisi Ibrahim. Garin makin tergerak membuat film begitu tahu
kisah hidup Ibrahim di dalam penjara. Ibrahim diundang datang ke
Jakarta. Selama tiga bulan di sana, Garin mencatat detail kisah hidupnya
dan dijadikan skenario film. Garin terenyuh mendengar kisah itu. Ya,
dia memutuskan mengangkat kisah itu dalam film berjudul "Puisi Tak
Terkuburkan".
“Sudah Pakcik, kita langsung bikin film saja,” ujar Garin.
Syuting
film seluruhnya berlangsung di kawasan Depok, Jawa Barat, selama enam
hari, dan pemain sebagian besar orang-orang Gayo yang tinggal di
Jakarta. Alasan mengambil lokasi di luar Aceh, karena situasi di sana
sedang dirudung konflik bersenjata. Sebuah studio disulap menjadi
penjara, begitu pula pemilihan para pemain dipilih sesuai detail kisah
Ibrahim.
“Pemilihan Berliana oleh Garin karena saya pernah lihat perempuan dibunuh yang wajahnya sangat cantik, mirip dia,” kata Ibrahim.
Pemain
yang dimaksud itu adalah Berliana Febrianti, seorang aktris yang kerap
muncul dalam sinetron-sinetron televisi. Syuting film Puisi Tak
Terkuburkan ternyata menguras emosi Ibrahim, ketimbang saat bermain
dalam film Tjoet Nja’ Dhien. Selama enam hari, Garin seperti
mengungkit lagi penderitaan Ibrahim, yang sesungguhnya pelan-pelan
sudah dia lalui. Itu sebabnya, syuting terpaksa dihentikan karena
Ibrahim melolongkan tangisan secara tiba-tiba, atau sebaliknya para
pemain yang tiba-tiba menangis mendengar kisah Ibrahim.
“Saking emosionalnya, saya selalu protes kepada Garin kalau ada adegan yang tidak sesuai dengan pengalaman saya di penjara,” kenang Ibrahim.
Setahun
kemudian, film Puisi Tak Terkuburkan mengikuti berbagai festival film
internasional dengan memakai judul "A Poet". Ibrahim terpilih sebagai
aktor terbaik dalam Singapore International Film Festival. Penghargaan
juga diraih dalam festival film yang diadakan Amnesty
International, sebuah lembaga hak asasi manusia di Belanda, pada 2001.
Pada
tahun-tahun itu situasi Aceh masih mencekam. Keamanan penduduk terancam
oleh konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka atau GAM dengan
tentara Indonesia. Kadang, banyak penduduk yang tidak bersalah menjadi
korban. Ibrahim berharap film Puisi Tak Terkuburkan memberi pesan
perdamaian.
“Apa misi film ini?” tanya seorang aktivis Amnesty International kepada Ibrahim.
Ibrahim lantas berkisah tentang sebuah kehidupan indah sebelum konflik bergejolak di kampungnya.
“Rumahku di kaki bukit. Tiap hari gadis-gadis mencari kayu ke sana. Setelah mereka menimbun belahan-belahan kayu, mereka beristirahat sebentar di kaki bukit sambil mendengar suara angin dan kicau burung. Kadang-kadang mereka bercerita sambil bergutu dan mendendang lagu tentang kekasihnya, ibunya, atau tentang bagaimana hari depannya. Ketika senja mereka pulang ke rumah dengan wajah riang. Sekarang mereka tak bisa lagi ke bukit itu karena sudah ada senjata (konflik). Padahal bukit itu tidak dibeli dari Cina atau Belanda. Bukit yang melahirkan mereka. Ke tempat lahirnya juga, mereka tidak bisa pergi.”
“Jadi saya ingin misi film ini, biarkan gadis-gadis itu bisa kembali ke bukit agar bisa senyum bersama bunga-bunga.”
IBRAHIM
lahir pada 1944 di sebuah rumah panggung dekat danau Laut Tawar,
Takengon. Dia tidak tahu kapan tanggal dan bulannya. Nama Kadir adalah
nama ayahnya. Sejak kecil dia sudah punya bakat berkesenian,
mengikuti jejak Kadir, sebagai seorang pemain tari seudati dan
didong. Didong merupakan seni bertutur dengan nyanyian dan dimainkan
oleh banyak orang. Di antara mereka ada satu orang menjadi pengatur
irama yang disebut sebagai ceh.
Dalam
tradisi rakyat Gayo, didong menjadi media menceritakan kebiasaan nenek
moyang, membawa pesan humanisme dan kearifan lokal. Ada puluhan
kelompok didong di Tanah Gayo. Setiap ada hajatan kelompok-kelompok itu
dipertandingan semalam suntuk. Siapa yang punya syair paling bagus,
dialah yang menang.
“Zaman saya kecil, tak sembarang jadi pemain didong. Kalau belum menikah belum boleh jadi anggota kelompok,”ujar Ibrahim.
Ibrahim
kecil, oleh teman-teman mainnya, hanya disuruh mencuri ubi atau ayam
milik orang lain. Menurut adat masyarakat Gayo pada masa itu, pemilik
ubi atau ayam tidak keberatan miliknya dicuri karena anak-anak
selalu ikut memelihara sawah dan ladangnya, tanpa harus membayar upah.
“Melalatoa selalu suruh saya mencuri ubi. Kalau tidak, dia akan memukul saya,” kenang Ibrahim sambil terkekeh.
Lelaki
yang disebut itu adalah Muhammad Junus Melalatoa, teman akrab Ibrahim.
Kelak, Melalatoa dikenal sebagai profesor antropologi Universitas
Indonesia. Dia meneliti karya-karya didong para seniman Gayo,
termasuk Ibrahim. Penelitian itu telah dibukukan oleh Yayasan
Obor Indonesia berjudul Didong Pentas Kreativitas Gayo.
“Karangan-karangan didong pada generasi Ibrahim terasa sentimentil dan romantis,” kata Melalatoa dalam bukunya itu.
Sisi
romantis itu diperlihatkan Ibrahim ketika jatuh cinta kepada Rasuna,
istrinya, di bangku sekolah dasar. Di bawah bangku, Ibrahim sengaja
menyenggolkan kakinya ke betis Rasuna, lalu Rasuna membalas dengan
senyum.
“Dia paling cantik di ruangan kelas, makanya saya suka dia,” kenang Ibrahim, tersenyum.
Ibrahim kecil juga belajar menuangkan perasaan-perasaan sentimentil tadi ke dalam lagu. Apalagi, dia punya banyak
waktu mengarang setelah tidak diperbolehkan gabung dalam kelompok
didong. Karya pertamanya, berjudul "Tajuk Dilem" dibuat dalam bahasa
Gayo, termasuk lirik dan melodinya, ketika dia berusia 10 tahun.
Sebagian lirik lagu itu, dalam bahasa Indonesia artinya kira-kira
begini;
Padamu Takengon, aku selalu rindu.
Juga ayah dan ibuku, oh ibu.
Terakhir kupandang Takengon dari bukit Singgah Mata.
Jika aku pergi, oh Ibu dan ayah akan sedih termangu.
Bila matahari meninggi, ayah duduk di meunasah (masjid).
Berfikir kemana hari ini pergi (mencari nafkah). Besokpun
kemana.
Oh.. Takengon, aku rindu.
Kapan kita ketemu lagi
Padamu Takengon, rinduku selalu.
Saat
saya temui, Ibrahim menyanyikan syair itu dalam melodi bahasa Gayo.
Liriknya terdengar menyayat dan mendayu. Mustawalad, seorang teman saya
asal Gayo, yang ikut mendengar syair itu terlihat berkaca-kaca.
“Rasanya saya mau nangis. Sejak dulu saya sering dengar syair itu, baru tahu kalau yang bikin dia,” ujar Mustawalad kepada saya, usai mendengar syair itu. Dia merinding.
Tajuk
Dilem berkisah tentang keindahan alam Takengon dengan danau Laut Tawar
dan pegunungan yang sejuk. Karya ini, 30 tahun kemudian, cukup populer
di telinga masyarakat Gayo. Menurut Ibrahim, syair itu berpesan kepada
orang-orang Takengon yang pergi merantau agar tidak melupakan kampung
halaman.
“Ingatlah bahwa ada danau yang sangat indah untuk dilihat lagi. Kalau yang merantau itu laki-laki, ingatlah bahwa ada gadis-gadis di sini yang sudah menunggu (dinikahi),” kata Ibrahim, panjang-lebar.
Setidaknya
pesan syair itu sudah dijalani Ibrahim sendiri. Ketika berkesempatan
belajar seni tari di Institut Kesenian Jakarta, Ibrahim tetap kembali
pulang. Dia mempraktekkan ilmunya untuk perkembangan kesenian di
Gayo. Dia tidak hirau dengan ajakan teman-temannya agar tinggal di
Jakarta.
“Saya
rasanya berat berpisah dengan alam Takengon. Kalau dulu hidup di
Jakarta, bisa-bisa saya stres karena tidak bisa lagi memancing!”
Ibrahim
tergelak keras sambil menunjuk hamparan danau Laut Tawar, yang
terlihat dari teras rumahnya. Sebagai seniman didong, Ibrahim bisa
dibilang generasi yang hampir punah. Pemain-pemain didong era
sekarang tak ada satupun yang mampu mengarang syair. Mereka hanya bisa
mendendang syair di pertandingan didong.
“Ceh-ceh
sekarang kalau main didong sesuka hatinya. Irama. Gerak tangan, dan
asesoris permainan tidak seragam. Makanya, sekarang didong kurang
digemari. Malah, kelompok-kelompok didong sekarang meniru
lirik-lirik musik dangdut dan India. Cuma bahasa saja dirubah
dalam bahasa Gayo,” kata Ibrahim.
Meski begitu, Ibrahim tidak bisa menolak setiap ceh-ceh didong datang minta dibuatkan syair didong.
“Saya nggak ada beras nih. Kasihlah dulu karangannya,” alasan beberapa ceh kepada Ibrahim.
Ceh-ceh
sekarang umumnya tidak punya pekerjaan lain, selain berdidong. Anehnya,
kata Ibrahim, seperti menjadi kebiasaan kalau pertunjukkan didong lagi
ramai ceh lalu menikah lagi. Jika pertunjukan sedang sepi, mereka
bercerai. Ibrahim sudah berbicara dengan pemerintah Aceh Tengah untuk
mengembalikan lagi seni didong sesuai pakemnya. Salah satunya, dengan
menggalakkan lomba mengarang syair didong.
“Saya
pribadi akan terus menulis syair didong, mungkin sampai ajal menjemput.
Saya suka dunia ini. Semua hasil yang saya terima juga karena didong,” kata Ibrahim, tegas.***
Sumber :