~* RINAI KABUT SINGGALANG *~
SINOPSIS CERITA:
Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatera Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai “orang-datang”, “orang di pinggang”, “orang yang tak berurat-berakar”. Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orang tua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.
Luka serupa kelak juga dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri mencari mamaknya (paman) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat paman Safri yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh─dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima─utamanya Ningsih (kakak Rahima)─ bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan: Fikri “orang-datang”, “orang di pinggang”.
Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluhlantaknya Aceh, tanah asal Fikri, selepas megabencana Gempa dan Tsunami (2004). Annisa, adik kandungnya digulung gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Fikri hidup sebatangkara. Dan, begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Betapa tidak? Rahima telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya perempuan itu diboyong Ningsih ke Jakarta. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian, dalam keterpiuhan perasaan lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam di kerak kepedihan.
Sampaikah Fikri dan Rahima bersua di kemudian hari ataukah pemuda malang itu hanya bertepuk sebelah tangan? Simak kelanjutan kisah yang mengharu-biru perasaan ini, dan menguras air mata dalam setiap babnya…[]
[Dapatkan Novel “Rinai Kabut Singgalang” edisi terbaru lewat Penerbit FAM Publishing, Divisi Penerbitan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia dengan menghubungi nomor pemesanan buku: 0812 5982 1511 (Mbak Aliya Nurlela) atau lewat email: forumaktifmenulis@yahoo.com. Kunjungi juga blog http://www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com
Buku Terbitan FAM Publishing. Buku kedua diterbitkan FAM Indonesia, “Rinai Kabut Singgalang”. Novel Karya Muhammad Subhan.
Harga Rp65.000,- (di luar ongkos kirim).
Pemesanan di No Hp. 0812 5982 1511.
T e s t i m o n i :
Maimunah dicoret dari ranji silsilah keluarga besarnya. Dia nekad menikah dengan Munaf, laki-laki asal Aceh. Perbuatannya itu membuat orangtuanya berkalang malu, sakit-sakitan, lalu meninggal dunia. Safri, kakak kandungnya mengalami gangguan jiwa, kemudian tewas dibunuh pemuda kampung. Fikri, putranya merantau ke Padang, jatuh cinta kepada Rahima, putri ibu angkatnya. Ningsih, kakak Rahima menolak pinangan Fikri. Rahima dinikahkan dengan orang lain di Jakarta.
Ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh, Fikri pulang menjadi relawan, mencari keluarga adiknya, Annisa. Ternyata Annisa tewas dilamun tsunami. Fikri kehilangan keluarganya. Di Padang ia pun kehilangan cintanya. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan Rahima dengan laki-laki lain ternyata atas dasar utang budi.
Kisah romantis yang menggugah kearifan lokal. Bollywood rasa Minang.
~Abidah el Khalieqy, Penulis Cerita Film Perempuan Berkalung Sorban.
Kedalaman galian Rinai Kabut Singgalang, sesungguhnya dapat ditandai dengan upaya Muhammad Subhan dalam mempertahankan identitas roman berlatar alam Minangkabau yang belakangan mulai diabaikan.
~Damhuri Muhammad, Esais, Cerpenis.
Novel ini mengingatkanku pada karya para Pujangga Baru, mellow, romantis, mengharu biru kalbu. Bedanya ini ditambah dengan konflik, heroik dan nestapa anak manusia di belahan Aceh, tragedi kemanusiaan yang hingga detik inipun tak terungkap dengan transparan.
~Pipiet Senja, Novelis.
Syarat sebuah novel adalah adanya konflik. Muhammad Subhan mampu membangun konflik yang kuat dengan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, hingga jalinan cerita mengalir bening. RKS mampu menerbitkan rasa penasaran untuk mengikuti cerita selanjutnya. Satu lagi yang memperkuat novel ini adalah setting, dan tradisi budayanya. Kearifan lokal dalam novel memang senantiasa mencipta aroma eksotik.
~Dianing Widya Yudhistira, Novelis, tinggal di Jakarta.
Alam Minangkabau cukup terekam dalam novel ini. Gaya bercerita pengarang yang merangkum peristiwa tersusun rapi, membuat pembaca tetap terikat. “Modal yang baik buat pengarang.” ~Aspar Paturusi, Novelis & Aktor Film Ketika Cinta Bertasbih 2, tinggal di Jakarta.
Kalaulah ada yang hendak mengambil contoh tauladan yang baik, maka tokoh utama dalam novel inilah yang patut ditiru. RKS sarat dengan pesan-pesan moral yang bertebaran kata nasihat agama. ~Arafat Nur, Pemenang Unggulan Sayembara Novel DKJ 2010, tinggal di Lhokseumawe, Aceh.
Menikmati RKS, pengarang dengan cerdas mengelompokkan kata dalam latar, alur, dan konflik melalui para tokoh yang dihadirkannya. Sesungguhnya bila ditelisik lebih jauh, segala peristiwa merupakan realitas diri pengarang yang ditemuinya dalam lingkungan berkehidupan. Peristiwa inilah yang disebut realitas sastra. Kecerdasan novelis meramu tiga dimensi sastrawi; estetika-etika-logika yang ditransformasikannya sebagai medium pendidikan dan moralitas bagi pembaca. Ini yang membuat RKS berkualitas. ~Sulaiman Juned, Penyair, Kolumnis, Sutradara Teater, Dosen, tinggal di Padangpanjang, Sumatra Barat.
Rinai Kabut Singgalang mengingatkan kita pada roman-roman klasik Indonesia yang mengharu-biru dan sarat dengan pesan moral. Disaat penulis lain menyajikan kisah dengan cita rasa Barat, Muhammad Subhan kembali ke akarnya; sastra Melayu.
~Ayi Jufridar, Penulis Novel Putroe Neng, tinggal di Lhokseumawe, Aceh.
Lebih dari sekedar romantisme kejayaan sastrawan Minangkabau, utamanya pada era Balai Pustaka, RKS menghadirkan kekhasan dan nilai-nilai etis-etnik Minang, dengan kelancaran berselancar di atas alur kisah dan tukikan emosi, kadang landai kadang curam. Tentunya dengan nuansa baru.
~Muhammad Nasrudin, Editor, Pegiat Buku, tinggal di Yogyakarta.
Roman eksotis-romantis ini tak jemu mengajak saya hanyut seturut panorama alam nan elok dari negeri bernama Minangkabau. Pengarang cukup lihai meracik keelokan alam yang berkelok-kelok naik turun “disebangunkan” dengan kelokan ketegangan-ketegangan di dalam kisahnya. Asmara yang mengharu-biru. Betapa serunut “adat” asmara tak memiliki setitik pun kuasa, melawannya alamat menuai derita tak tertanggungkan. Pengusiran, cerai persaudaraan, stigma buruk, bahkan dituduh sebagai penyebab kematian orang-orang yang ditinggalkan. RKS mengajak pembaca menikmati hingga tanda titik paling akhir dari cerita ini.
~Akhiriyati Sundari, Ketua Komunitas MATAPENA, tinggal di Yogyakarta.
Rasa Minang hadir dalam kisah perkisah RKS. Pengarangnya mengingatkan kita pada roman-roman karangan Hamka. Kisah yang mengharubirukan perasaan. Bahasanya halus, pengarang berhasil mendeskripsikan perasaan yang mendalam para tokohnya, hingga tak dinyana pembaca bagai dihanyutkan oleh tragedi cinta yang amat sentimentil, tragis, dan berurai air mata.
~Irzen Hawer, Novelis, tinggal di Padangpanjang, Sumatera Barat.
Berbeda dengan novel-novel terbaru yang ada saat ini, RKS menarik perhatian pembaca dengan gaya bahasa dan gaya penceritaan novel klasik (roman) yang pernah berjaya di masa lalu. Sesuatu yang rasanya tidak mungkin dilakukan oleh penulis yang lahir dan hidup pada masa sekarang, seperti halnya Muhammad Subhan.
~Elly Delfia, Dosen Sastra Universitas Andalas, tinggal di Padang.
Di saat banyak judul novel dengan latar belakang Timur Tengah, Muhammad Subhan malah tampil manis dan indah dengan latar belakang budaya asli Indonesia dengan judul novel Rinai Kabut Singgalang.
~Fitri Dahlia, Jurnalis dan Cerpenis, tinggal di Jakarta.
Membaca Rinai Kabut Singgalang, serasa mengintip luka yang sulit terbasuhkan. Kemana pun, dimana pun, seakan tiada jarak antara kehidupan dan luka. Bahkan, ketika cinta yang indah dan penuh makna, pada akhirnya tercerabut oleh iri dengki karena berharap materi dan ketinggian adat yang tak bisa dipugar. RKS berhasil meneropong realitas sosial dan alam Minang yang memesona namun sekaligus terasa menggetirkan.
~Halim Mubary, Cerpenis, Jurnalis dan Esais, tinggal di Lhokseumawe, Aceh Utara.
Rinai Kabut Singgalang mampu membawa saya hanyut ke dalam kisahnya dan saya merasa sangat dekat dengan kisah tersebut.
~Tuti Handriani, pembaca RKS di Palembang.
Dalam bab per babnya banyak menanamkan nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai pelajaran. Latar cerita sangat mendukung dan alur yang tidak mudah membuat pembaca bosan.
~Tiara Mairani, pembaca RKS di Padang.
Muhammad Subhan.
Semoga kamu semakin sukses,sahabat ku.
Amna juga ingin sukses menjadi penulis seperti kamu.
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar